Mulanya sedikit mengusik kesan, berikutnya datar saja. Tetapi belakangan ini, saya begitu menikmati prosesi sentuhan dengan tangan kasar itu. Bahkan diam-diam, salaman itu menjadi momen yang saya rindukan. Tangan kasar petani itu seperti selalu mengingatkan saya kepada Sa’ad bin Muadz Al Anshari, sahabat Nabi.
Ketika Rasulullah pulang dari Tabuk, beliau melihat keganjilan pada diri Sa’ad. Terlihat ada sakit yang ditahan Sa’ad saat berjabat tangan. “Kenapa tanganmu?”
“Ini akibat sekop dan cangkul yang sering saya pergunakan untuk mencari nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggunganku, ya Rasul,” jawab Sa’ad. Dilihat oleh Nabi, tangan Sa’d menghitam dan melepuh.
Serta merta Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya. “Inilah tangan yang tercium bau surga, yang tidak akan disentuh api neraka.”
Rasulullah mencium tangan sahabatnya? Tentu ini amat istimewa. Tangannya biasa diperebutkan untuk tabarruk (mendapat berkah), ternyata malah mencium tangan Sa’ad yang kasar.
Aksi “demonstratif” Nabi seolah melampaui berjuta kata-kata untuk menghargai para pekerja kasar seperti Sa’ad. Sebuah perilaku yang jauh dari sekadar memenuhi tuntutan normatif atas nama peraturan dan hukum
***
Sebagaimana Nabi, jika kita bertemu dengan orang seperti Sa’ad, saya ingin kita sama-sama mencium tangannya. Tidak secara harfiah. Tetapi lewat penghargaan kita kepadanya. Memposisikan mereka secara mulia, seraya mengasah kepedulian membantu mencukupi hajat hidupnya.
Saya rasa, banyak orang dhuafa yang senasib seperti Sa’ad. Mereka bisa petani yang butuh kebijakan pemerintah yang lebih berpihak ke mereka. Bisa juga kuli bangunan, tukang sampah, atau mereka adalah pembantu (khadam) di rumah kita. Mereka adalah orang yang menjauhkan diri dari meminta-minta. Mereka mau bekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bentuk tanggung jawab pada keluarganya. Adakah kita masih merasa lebih mulia dibandingkan mereka dalam pandangan Allah?
(Tulisan ini merupakan arsip dari Kolom Relung, Lazda Lampung Peduli di Koran Lampung Post)
Komentar