Langsung ke konten utama

Cium Tangan

Bertemu petani dalam kegiatan penyuluhan, jabat tangan menjadi bagian acara yang bernuansa beda. Telapak tangan mereka terasa kasar. Kebiasaan mereka mencangkul serta kerja berat yang lain membuat tangan mereka menjadi keras (Jw.: kapalan).

Mulanya sedikit mengusik kesan, berikutnya datar saja. Tetapi belakangan ini, saya begitu menikmati prosesi sentuhan dengan tangan kasar itu. Bahkan diam-diam, salaman itu menjadi momen yang saya rindukan. Tangan kasar petani itu seperti selalu mengingatkan saya kepada Sa’ad bin Muadz Al Anshari, sahabat Nabi.

Ketika Rasulullah pulang dari Tabuk, beliau melihat keganjilan pada diri Sa’ad. Terlihat ada sakit yang ditahan Sa’ad saat berjabat tangan. “Kenapa tanganmu?”

“Ini akibat sekop dan cangkul yang sering saya pergunakan untuk mencari nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggunganku, ya Rasul,” jawab Sa’ad. Dilihat oleh Nabi, tangan Sa’d menghitam dan melepuh.

Serta merta Nabi mengambil tangan Sa’ad dan menciumnya. “Inilah tangan yang tercium bau surga, yang tidak akan disentuh api neraka.”

Rasulullah mencium tangan sahabatnya? Tentu ini amat istimewa. Tangannya biasa diperebutkan untuk tabarruk (mendapat berkah), ternyata malah mencium tangan Sa’ad yang kasar.

Aksi “demonstratif” Nabi seolah melampaui berjuta kata-kata untuk menghargai para pekerja kasar seperti Sa’ad. Sebuah perilaku yang jauh dari sekadar memenuhi tuntutan normatif atas nama peraturan dan hukum

***

Sebagaimana Nabi, jika kita bertemu dengan orang seperti Sa’ad, saya ingin kita sama-sama mencium tangannya. Tidak secara harfiah. Tetapi lewat penghargaan kita kepadanya. Memposisikan mereka secara mulia, seraya mengasah kepedulian membantu mencukupi hajat hidupnya.

Saya rasa, banyak orang dhuafa yang senasib seperti Sa’ad. Mereka bisa petani yang butuh kebijakan pemerintah yang lebih berpihak ke mereka. Bisa juga kuli bangunan, tukang sampah, atau mereka adalah pembantu (khadam) di rumah kita. Mereka adalah orang yang menjauhkan diri dari meminta-minta. Mereka mau bekerja kasar untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, atau bentuk tanggung jawab pada keluarganya. Adakah kita masih merasa lebih mulia dibandingkan mereka dalam pandangan Allah?
(Tulisan ini merupakan arsip dari Kolom Relung, Lazda Lampung Peduli di Koran Lampung Post)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Tragedi Ponari

S esungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS Al-Maidah: 72). Belum lepas dari ingatan dengan hebohnya Ryan Sang Penjagal, Jombang kembali menjadi perhatian. Puluhan ribu orang tumplek-blek , minta diobati oleh Ponari, anak yang dianggap memiliki batu sakti. Maka drama kolosal yang konyol itu berlangsung. Sembari digendong tangan kanan dicelupkan ke wadah air pasien yang antri, tangan kiri Ponari sibuk bermain game dari ponsel. “Ponari itu diberi kelebihan oleh Tuhan,” kata seorang wanita yang datang jauh dari Sidoarjo. Tokoh agama yang tak jelas aqidahnya, membolehkan datang ke tempat Ponari. Begitulah, tak sekadar konyol, ini menjadi drama memilukan. Empat nyawa melayang karena berdesak-desakan. Karena capek, Ponari dirawat di rumah sakit—bahkan ia tak mampu mengobati dirinya sendiri. Menyimak beritanya, saya dil...

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat . ( TQS An Nisa: 58 ). Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. S...