Langsung ke konten utama

Ramadan nan Riang

Puasa selalu memberi nuansa berbeda dalam rutinitas harian kita. Cobalah simak dan rasakan. Acara makan, sebelum Ramadan, seperti berlalu begitu saja. Sekarang menjadi sesuatu yang dinantikan. Bukan hanya lantaran lapar. Tetapi kebersamaannya itu terasa memberi kenikmatan lebih. Kita merasa punya banyak luang untuk memberi perhatian kepada setiap anggota keluarga. Dari jenakanya anak-anak kita saat menahan lapar, dari kebersamaan kita kala sahur dan berbuka. Subhanallah. Kebahagiaan itu ternyata bisa hadir, dalam bentuk yang sederhana.
Nuansa perubahan itu juga terlihat di lingkungan sekitar. Masjid penuh dengan jamaah. Semua berbondong-bondong meramaikan masjid (dalam makna harfiah). Tua-muda, lelaki-wanita, bahkan tak ketinggalan para balita. Semua terasa mengalir begitu saja, tak ada rekayasa, berjalan natural, dan tentunya, membahagiakan. Semuanya seperti larut terbawa perasaan. Semuanya menikmati. Pemuka agama yang (maaf) cenderung kaku memahami bahwa salat wanita lebih utama di rumah, tampaknya juga tak tega menyampaikan fatwanya. Ingatannya lebih tertuju kepada larangan Nabi agar tidak melarang wanita datang ke masjid —sepertinya benar kata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, ulama asal Mesir, bahwa jamaah wanita di zaman Nabi tidak lebih sedikit dibanding jamaah pria saat salat di masjid.
Kita, orang tua yang di waktu lain kerap galak dengan anak-anak, tampak juga tak tega memarahi mereka kala Ramadan. Bahkan, ketika kadang-kadang mereka keterlaluan membuat gaduh di masjid—adik saya di Pringsewu, mengisahkan kebiasaan anak-anak di sana membunyikan mercon. Ya. Memang tak perlu marah. Begitulah tabiat anak-anak, sedari dahulu, seperti juga terjadi di zaman Nabi.
Suatu saat, Nabi tampak begitu lama sujud dalam salat berjamaah. Sahabat mengira Nabi mendapat wahyu. ”Bukan, tadi waktu sujud cucuku (Hasan dan Husein) menjadikanku tunggangan. Aku tak tega menganggu keriangan mereka,” terang Nabi. Syaikh Nashiruddin al Albani mengutip kisah tersebut dalam bab memanjangkan sujud (dalam Sifat Salat Nabi). Bayangkan, keriuhan anak-anak, sampai-sampai ”mengganggu” jalannya salat, tapi malah mendapat pujian dari Nabi.
Yang lain. Suatu saat Nabi tergesa-gesa menyelesaikan salat sampai mengundang tanya sahabat. ”Tadi di tengah salat, aku mendengar bayi menangis, saya tidak mau ibunya menjadi khawatir.”
Begitulah. Banyak alasan shahih untuk membenarkan nuansa kebersamaan itu—di rumah atau di masjid—tetap berjalan langgeng secara alamiah. Sampai kemudian keberkahan itu mengalir deras. Melalui cara yang bersahaja. ***

(Tulisan ini merupakan Arsip dari Kolom Relung, Lampung Post Edisi Ramadhan 1429 H)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Tragedi Ponari

S esungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS Al-Maidah: 72). Belum lepas dari ingatan dengan hebohnya Ryan Sang Penjagal, Jombang kembali menjadi perhatian. Puluhan ribu orang tumplek-blek , minta diobati oleh Ponari, anak yang dianggap memiliki batu sakti. Maka drama kolosal yang konyol itu berlangsung. Sembari digendong tangan kanan dicelupkan ke wadah air pasien yang antri, tangan kiri Ponari sibuk bermain game dari ponsel. “Ponari itu diberi kelebihan oleh Tuhan,” kata seorang wanita yang datang jauh dari Sidoarjo. Tokoh agama yang tak jelas aqidahnya, membolehkan datang ke tempat Ponari. Begitulah, tak sekadar konyol, ini menjadi drama memilukan. Empat nyawa melayang karena berdesak-desakan. Karena capek, Ponari dirawat di rumah sakit—bahkan ia tak mampu mengobati dirinya sendiri. Menyimak beritanya, saya dil...

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat . ( TQS An Nisa: 58 ). Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. S...