Puasa selalu memberi nuansa berbeda dalam rutinitas harian kita. Cobalah simak dan rasakan. Acara makan, sebelum Ramadan, seperti berlalu begitu saja. Sekarang menjadi sesuatu yang dinantikan. Bukan hanya lantaran lapar. Tetapi kebersamaannya itu terasa memberi kenikmatan lebih. Kita merasa punya banyak luang untuk memberi perhatian kepada setiap anggota keluarga. Dari jenakanya anak-anak kita saat menahan lapar, dari kebersamaan kita kala sahur dan berbuka. Subhanallah. Kebahagiaan itu ternyata bisa hadir, dalam bentuk yang sederhana.
Nuansa perubahan itu juga terlihat di lingkungan sekitar. Masjid penuh dengan jamaah. Semua berbondong-bondong meramaikan masjid (dalam makna harfiah). Tua-muda, lelaki-wanita, bahkan tak ketinggalan para balita. Semua terasa mengalir begitu saja, tak ada rekayasa, berjalan natural, dan tentunya, membahagiakan. Semuanya seperti larut terbawa perasaan. Semuanya menikmati. Pemuka agama yang (maaf) cenderung kaku memahami bahwa salat wanita lebih utama di rumah, tampaknya juga tak tega menyampaikan fatwanya. Ingatannya lebih tertuju kepada larangan Nabi agar tidak melarang wanita datang ke masjid —sepertinya benar kata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, ulama asal Mesir, bahwa jamaah wanita di zaman Nabi tidak lebih sedikit dibanding jamaah pria saat salat di masjid.
Kita, orang tua yang di waktu lain kerap galak dengan anak-anak, tampak juga tak tega memarahi mereka kala Ramadan. Bahkan, ketika kadang-kadang mereka keterlaluan membuat gaduh di masjid—adik saya di Pringsewu, mengisahkan kebiasaan anak-anak di sana membunyikan mercon. Ya. Memang tak perlu marah. Begitulah tabiat anak-anak, sedari dahulu, seperti juga terjadi di zaman Nabi.
Suatu saat, Nabi tampak begitu lama sujud dalam salat berjamaah. Sahabat mengira Nabi mendapat wahyu. ”Bukan, tadi waktu sujud cucuku (Hasan dan Husein) menjadikanku tunggangan. Aku tak tega menganggu keriangan mereka,” terang Nabi. Syaikh Nashiruddin al Albani mengutip kisah tersebut dalam bab memanjangkan sujud (dalam Sifat Salat Nabi). Bayangkan, keriuhan anak-anak, sampai-sampai ”mengganggu” jalannya salat, tapi malah mendapat pujian dari Nabi.
Yang lain. Suatu saat Nabi tergesa-gesa menyelesaikan salat sampai mengundang tanya sahabat. ”Tadi di tengah salat, aku mendengar bayi menangis, saya tidak mau ibunya menjadi khawatir.”
Begitulah. Banyak alasan shahih untuk membenarkan nuansa kebersamaan itu—di rumah atau di masjid—tetap berjalan langgeng secara alamiah. Sampai kemudian keberkahan itu mengalir deras. Melalui cara yang bersahaja. ***
(Tulisan ini merupakan Arsip dari Kolom Relung, Lampung Post Edisi Ramadhan 1429 H)
Nuansa perubahan itu juga terlihat di lingkungan sekitar. Masjid penuh dengan jamaah. Semua berbondong-bondong meramaikan masjid (dalam makna harfiah). Tua-muda, lelaki-wanita, bahkan tak ketinggalan para balita. Semua terasa mengalir begitu saja, tak ada rekayasa, berjalan natural, dan tentunya, membahagiakan. Semuanya seperti larut terbawa perasaan. Semuanya menikmati. Pemuka agama yang (maaf) cenderung kaku memahami bahwa salat wanita lebih utama di rumah, tampaknya juga tak tega menyampaikan fatwanya. Ingatannya lebih tertuju kepada larangan Nabi agar tidak melarang wanita datang ke masjid —sepertinya benar kata Syaikh Abdul Halim Abu Syuqqah, ulama asal Mesir, bahwa jamaah wanita di zaman Nabi tidak lebih sedikit dibanding jamaah pria saat salat di masjid.
Kita, orang tua yang di waktu lain kerap galak dengan anak-anak, tampak juga tak tega memarahi mereka kala Ramadan. Bahkan, ketika kadang-kadang mereka keterlaluan membuat gaduh di masjid—adik saya di Pringsewu, mengisahkan kebiasaan anak-anak di sana membunyikan mercon. Ya. Memang tak perlu marah. Begitulah tabiat anak-anak, sedari dahulu, seperti juga terjadi di zaman Nabi.
Suatu saat, Nabi tampak begitu lama sujud dalam salat berjamaah. Sahabat mengira Nabi mendapat wahyu. ”Bukan, tadi waktu sujud cucuku (Hasan dan Husein) menjadikanku tunggangan. Aku tak tega menganggu keriangan mereka,” terang Nabi. Syaikh Nashiruddin al Albani mengutip kisah tersebut dalam bab memanjangkan sujud (dalam Sifat Salat Nabi). Bayangkan, keriuhan anak-anak, sampai-sampai ”mengganggu” jalannya salat, tapi malah mendapat pujian dari Nabi.
Yang lain. Suatu saat Nabi tergesa-gesa menyelesaikan salat sampai mengundang tanya sahabat. ”Tadi di tengah salat, aku mendengar bayi menangis, saya tidak mau ibunya menjadi khawatir.”
Begitulah. Banyak alasan shahih untuk membenarkan nuansa kebersamaan itu—di rumah atau di masjid—tetap berjalan langgeng secara alamiah. Sampai kemudian keberkahan itu mengalir deras. Melalui cara yang bersahaja. ***
(Tulisan ini merupakan Arsip dari Kolom Relung, Lampung Post Edisi Ramadhan 1429 H)
Komentar