Langsung ke konten utama

‘Meminta’ Martabat

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.
(TQS Al Maidah: 2)

Karena kecintaan dan penghormatannya, seorang wanita datang menemui Rasulullah saw. dengan membawa kain bersulam (berhias). “Ya Rasulullah, aku menenun dan menyulamnya sendiri dengan tanganku supaya engkau berkenan mengenakannya. Terimalah ya Rasul.”

Rasulullah pun mengambilnya. Tampak beliau memang sangat membutuhkan. Kemudian beliau keluar menemui para sahabatnya dengan mengenakan kain itu sebagai sarung. Serta merta di antara mereka ada yang berkata: “Alangkah indahnya kain itu, hadiahkanlah kain itu kepadaku!”

“Boleh. Ambillah,” jawab beliau. Rasulullah yang telah duduk di dalam majelis kemudian kembali. Beliau segera melipat kain itu dan mengirimkannya kepada orang tersebut.

Lalu orang-orang pun berkomentar, “Alangkah bagusnya engkau ini (sindiran, untuk menyatakan makna sebaliknya), Rasulullah lebih membutuhkan kain itu tetapi engkau malah memintanya, padahal engkau tahu bahwa Rasulullah tidak pernah menolak permintaan.”

Tapi orang tersebut menjawab, “Demi Allah, sesungguhnya aku meminta kain itu kepada beliau bukan untuk kukenakan, akan tetapi aku ingin menjadikannya sebagai kain kafan.”

Sahal bin Sa’ad r.a. yang menceritakan kisah tersebut menyatakan, “Ketika meninggal dunia, dengan kain itulah ia dikafani.” (HR Bukhari).

Memberi Hadiah

Alangkah indahnya interaksi Rasululullah dengan para sahabatnya. Salah satu fragmen dalam kehidupan Rasulullah tersebut menggambarkan betapa hubungan mereka terjalin dengan penuh cinta. Cinta yang melahirkan keinginan untuk berbagi. Cinta yang mewujud lewat pemberian. Melalui hadiah, sebagai bukti perhatian itu. Aisyah r.a. menuturkan, “Rasulullah biasa menerima bingkisan hadiah dan membalas bingkisan itu.” (HR. Bukhari).

Proses menerima-memberi (take and give) inilah yang membuat hadiah di zaman Nabi ini punya cita rasa beda. Ia bukan upeti para rakyat kepada raja. Bukan pula bingkisan dari bawahan karena pamrih jabatan. Bukan pula kategori gratifikasi dari pengusaha untuk mendapat ‘proyek.’ Semata-mata karena cinta dan penghormatan. Cinta yang melahirkan rasa peduli dan murah hati atas kebutuhan saudaranya. Jabir ra berkata: “Tidak pernah sama sekali Rasulullah saw. mengatakan “tidak” (menolak) setiap kali diminta.” (HR. Al-Bukhari).

Jika etos saling memberi dan tolong menolong itu telah berurat akar, maka yang terjadi adalah kepedulian yang meruah-ruah. Seperti kepedulian perempuan yang memberi kain bersulam itu kepada Rasulullah. Ia sepenuhnya tahu, bahwa Rasulullah butuh pakaian sebagai pengganti pakaian yang telah usang.

Etos memberi tersebut tak harus berarti harta/materi. Sikap simpatik pun mencukupi. Jabir bin Abdullah r.a. mengungkapkan, “Sejak aku masuk Islam, setiap kali Rasulullah berpapasan denganku atau melihatku, beliau pasti tersenyum.” (HR Bukhari). Abdullah bin Al-Harits ra juga menuturkan: “Tidak pernah aku melihat seseorang yang lebih banyak tersenyum daripada Rasulullah saw.” (HR Tirmidzi). Begitu pentingnya tersenyum, sebagai penghangat persaudaraan, lisan beliaulah yang menegaskan bahwa, “Senyumanmu di hadapan saudaramu adalah sedekah.” (HR Tirmidzi).

Etos memberi—dalam bentuk apapun—telah Rasulullah beri jaminan khusus. Abdullah bin Mas'ud berkata: Rasulullah saw pernah bersabda: "Inginkah aku kabarkan kepadamu oang yang diselamatkan dari api neraka, atau dijauhkan api neraka darinya? Yaitu setiap orang yang ramah, lemah lembut, dan murah hati." (HR Tirmidzi).

Meminta Martabat

Maka, kalaupun mereka harus meminta, itu bukan untuk memenuhi keperluan mereka pribadi. Seperti permintaan sahabat terhadap kain bersulam yang baru saja dikenakan Rasulullah dalam hadits di muka. Semata-mata ia meminta karena ingin ber-tabarruk, meminta berkah dari Sang Nabi Mulia. Mereka ingin ketika mati, ada bukti penanda cinta itu. Mereka ingin kecintaannya kepada Rasulullah mengantarkannya pada derajat mulia, kelak di akhirat.

Ekspresi cinta kadang terasa aneh. Tapi sepenuhnya indah. Seperti peristiwa di kali yang lain yang dilakukan oleh Sawad bin Ghazyah dalam perang Badar. Ketika Nabi saw sedang meluruskan barisan, Sawad maju ke muka. Rasulullah memukul perutnya dengan anak panah, “Lurus barisanmu, wahai Sawad!” Sawad memprotes. “Ya Rasulullah, Anda menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Aku ingin menuntut qishash.” Para sahabat yang lain berteriak, “Hai, engkau mau menuntut balas dari Rasulullah saw?”

Nabi saw menyingkap perutnya, “Balaslah!” Tapi Sawad malah memeluk tubuh Nabi saw dan menciumnya. Rasul yang mulia bertanya, “Hai Sawad, apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?” Sawad berkata, Ya Rasulullah, sudah terjadi apa yang engkau persaksikan. Ingin sekali pada akhir pertemuanku denganmu, kulitku menyentuh kulitmu. Berilah aku syafaat pada hari kiamat.” Nabi saw kemudian mendoakan kebaikan baginya (Hayat Al Shahabah).

Para sahabat Rasulullah mengerti benar, bahwa meminta semata-mata untuk keperluan perutnya (atau kesenangan pribadi) adalah perkara tercela. Sebagaimana mereka pahami dari pesan Nabi terhadap Hakim bin Hizam berikut. “Aku pernah meminta sesuatu kepada Rasulullah saw beliau lantas memberikannya. Kemudian aku meminta lagi, beliau pun memberikanya. Kemudian aku meminta lagi, beliau pun memberikannya seraya berkata: “Wahai Hakim, sesungguhnya harta ini manis dan indah. Barang siapa yang mengambilnya dengan kemurahan hati, ia akan mendapat keberkatan padanya. Barangsiapa yang mengambilnya dengan ketamakan, ia tidak akan mendapat keberkatan padanya. Bagaikan orang yang makan tapi tidak pernah kenyang. Dan tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah.” (Mutafaq ‘alaih).

***

Hari ini kita nyaris hidup dalam nuansa yang penuh keganjilan. Memberi hadiah itu tak selalu berarti positif. Bisa jadi ia suap, gratifikasi, ataupun hasrat untuk menjilat. Karena pangkat, memuluskan proyek, atau pamrih duniawi yang lain. Semua patut kita koreksi, adakah hadiah itu kita sampaikan karena si penerima memang membutuhkan?

Kalaupun harus meminta, kita tidak ingin hal tersebut menjerumuskan kita pada perilaku nista. Hina karena hanya didasari motivasi dunia. Semua patut kita koreksi, adakah permintaan yang kita lontarkan semata-mata karena menginginkan surganya Allah? ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya