Langsung ke konten utama

Melawan Sekolah dari Rumah

Beban kurikulum yang terlalu besar adalah perkara yang merisaukan dalam pendidikan di Indonesia. Ketetapan passing grade untuk kelulusan, membuat semua sekolah dihantui rasa takut kalau tidak dapat melampauinya. Demi target lulus, sekolah lebih mirip bimbingan belajar. Ada tambahan waktu untuk mengerjakan soal-soal. Selalu ada PR yang dibawa siswa ke rumah. Tak cukup itu, sebagian besar anak masih harus ikut les/bimbel di luar sekolah. Lacur, siswa laksana mesin robot penghafal dan penghitung par excellence!
Dulu, orang ikut les privat hanya untuk menyalurkan bakat khusus di bidang seni atau ketrampilan. Kalaupun ada bimbel, itu karena pribadi murid yang lemah menangkap pelajaran dibanding teman sekelasnya. Sekarang, UN seperti membuat orang tak ada yang berani ambil resiko. Bimbel digeneralisasi. Sekolah laksana lembaga teror secara sistemik. Pendidikan jauh dari rasa nyaman bagi anak didik.
Sistem pendidikan yang timpang tersebut tampaknya telah berimplikasi luas. Anak didik seperti teralienasi dari lingkungannya. Bahkan, ini mengarah ke perilaku anti sosial. Lihatlah. Warnet berjamuran, semua penuh terisi. Bukan untuk mengakses ilmu dari perpustakaan raksasa tersebut, tetapi untuk bermain game online anak-anak sekolah. Begitu juga tempat yang menyewakan play station. Semuanya penuh terisi oleh anak sekolah. Sekolah yang tak nyaman, mereka lampiaskan dengan bermain game. Berbilang jam, berbilang hari, banyak waktu yang mereka habiskan di layar kaca.
Banyak orang tua yang tak peduli (=menyerah) dengan kondisi tersebut. Seolah pendidikan selesai dengan sekolah dan bimbel. Sarana lain untuk menyemai moral anak terabaikan. Contohnya, pendidikan informal di masjid. Guru Taman Pendidikan Alquran (TPA) atau pembina remaja masjid (RISMA) harus berjibaku menyelenggarakan kegiatan. Semua berjalan lebih karena modal idealisme para pengajar/pembina. Semakin lama semakin sepi peminat. Banyak yang tak peduli. Bayangan generasi amoral seperti mimpi buruk yang (nyaris) menjadi kenyataan.

Peran Orangtua
Kelemahan sistem pendidikan kita telah menginspirasi beberapa orang untuk ”melawan” sekolah formal. Seperti Seto Mulyadi (Ketua Komnas Perlindungan Anak) dan Neno Warisman (mantan artis). Mereka menarik anaknya dari sekolah formal. Mereka mengajari sendiri anaknya di rumah.
Apa yang dilakukan Seto Mulyadi dan Neno Warisman--yang dikenal sebagai ‘sekolah rumah’ (home schooling)-- ini mengingatkan kita pada Ki Hajar Dewantara. Jika kita tilik sejarah Ki Hajar Dewantara, tidak ada anak-anaknya mengikuti sekolah Belanda. Mereka lebih banyak belajar sendiri di rumah. Ini juga dilakukan oleh Haji Agus Salim. Bimbingan tersebut mengantarkan sukses seluruh anaknya.
Agaknya tak banyak yang berani seperti Seto Mulyadi dan Neno Warisman. Salah-salah jika belajar di rumah, anak terabaikan jika tidak diimbangi dengan ilmu memadai dari orang tua. Paling tidak, ada upaya mengimbangi imbas negatif sekolah formal. Orang tua punya peran sangat penting.
Dalam Islam, salah satu hak anak yang harus dipenuhi oleh orangtuanya ialah memberikan pendidikan yang baik. Hak anak anak menurut Nabi adalah, ”Engkau baguskan nama dan pendidikannya, kemudian engkau tempatkan (pelihara) ia di tempat yang baik.” (Hadits).
Pendidikan yang baik tentu tidak bisa disederhanakan dengan nilai rangking atau kelulusan UN. Sahabat Nabi sendiri, tidak ada yang mengenyam sekolah formal. Tetapi, lewat didikan akhlak Nabi, mereka menjadi orang-orang yang mempunyai prestasi raksasa dalam sejarah.
Banyak sekali masalah kehidupan yang tidak ditemui dalam pelajaran berhitung dan hafalan di sekolah. Berhitung dan menghafal hanyalah sebagian kecil dari cara melatih berfikir sistematis. Fungsi utama sekolah semestinya adalah membentuk pola fikir dan perilaku positif anak-anak. Inilah yang kemudian akan membuat anak didik siap menjawab masalah dalam kehidupan nyata. Inilah yang dalam bahasa Al Qur’an, pendidikan itu diartikan sebagai sarana mensucikan diri (QS [2]: 151).
Mensucikan diri sama artinya dengan tumbuhnya perilaku positif dalam belajar. Belajar bukan diniatkan untuk sekadar mendapat angka tinggi dalam rapor. Belajar adalah aktivitas mulia untuk meraih derajat tinggi di sisi Allah dan memberi manfaat kepada sesama. Pengertian inilah yang kemudian secara otomatis memotivasi anak didik untuk terus belajar. Inilah yang mengarahkan anak didik pada kepahaman.
Islam sendiri menempatkan derajat orang yang mengerti dan memahami (“faqih”) lebih tinggi dari pada orang yang menghafal (“hafizh”). Hafalan itu masih perlu. Tetapi menghafal bukanlah tujuan itu sendiri. Menghafal adalah sarana untuk mencapai tujuan yang lain. Apalagi saat ini, gudang data itu banyak digantikan oleh kaset/disket—atau program penyimpan data digital lain yang begitu mudah didapat dan dipakai.
Menurut Yusuf Qardhawi, kesalahan yang banyak dilakukan oleh kaum Muslimin saat ini adalah perhatian mereka kepada hafalan yang lebih tinggi daripada pemahaman. Sistem pendidikan itu kebanyakan didasarkan pada hafalan dan ”kebisuan,” serta tidak didasarkan pada pemahaman dan pencernaan. Kalau apa yang mereka pelajari didasarkan atas pemahaman dan contoh yang nyata, maka hal itu akan masuk kedalam otak mereka dan tidak mudah hilang dari ingatan. (Yusuf Qardhawi, Fiqh Aulawiyat).
Filosofi pemahaman dan mensucikan jiwa itu telah menjadi barang langka dalam pendidikan formal kita. Orang tua harus mengimbangi ketimpangan dalam sistem pendidikan negeri ini dengan ”pendidikan sebenarnya” di rumah. Rumah dan keluarga adalah sekolah informal penentu sukses sejati. Orang tualah pemberi saham terbesar, penentu sukses hidup seseorang. Bukan dari kelulusan UN. ***

Komentar

Anonim mengatakan…
Tulisan artikel di blog Anda bagus-bagus. Agar lebih bermanfaat lagi, Anda bisa lebih mempromosikan dan mempopulerkan artikel Anda di infoGue.com ke semua pembaca di seluruh Indonesia. Salam Blogger!
http://www.infogue.com/
http://pendidikan.infogue.com/melawan_sekolah_dari_rumah

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai