Langsung ke konten utama

Pendidikan Cinta

“Shibghah (celupan) Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya dari pada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.”
(QS Al Baqarah: 138).

Saat Perang Badar, Rasulullah turun langsung meluruskan barisan. Tapi Sawad bin Ghazyah malah maju ke muka. Rasulullah menegur Sawad seraya memukul perutnya dengan anak panah. “Luruskan barisanmu, wahai Sawad!”
Sawad memprotes. “Ya Rasulullah, Anda menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Aku ingin menuntut qishash.”
Para sahabat yang lain berteriak, “Hai Sawad, engkau mau menuntut balas dari Rasulullah saw?”
Serta merta Rasulullah saw menyingkap perutnya, “Balaslah!”
Namun Sawad malah memeluk tubuh Nabi saw dan menciumnya. Rasulullah yang mulia bertanya, “Wahai Sawad, apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?”
“Ya Rasulullah, sudah terjadi apa yang engkau persaksikan. Ingin sekali pada akhir pertemuanku denganmu, kulitku menyentuh kulitmu.Berilah aku syafaat pada hari kiamat,” kata Sawad. Rasulullah saw kemudian mendoakan kebaikan baginya (Hayat Al Shahabah).
Sawad bin Ghazyah bukanlah pembangkang. Ia adalah sahabat yang sengaja mencari-cari akal agar dapat langsung bersentuhan dengan Rasulullah. Perilakunya tersebut didasari atas kecintaannya yang teramat besar kepada Rasulullah.
Perang Badar adalah pelajaran.Tentang keberanian, keteguhan hati, kecintaan yang tulus, soliditas kelompok, serta pertolongan Allah yang kemudian menorehkan capaian fenomenal: kemenangan 300 pasukan Islam melawan 1000 pasukan kafir. Perang Badar adalah prestasi. Keberhasilan yang selayaknya memberi inspirasi solusi permasalahan keseharian kita. Menyangkut cara dan prosesnya.

Perilaku
Sebuah prestasi besar berhubungan erat dengan usaha sungguh-sungguh untuk mencapainya. Ini sudah menjadi rumus hidup yang kita sepakati. Ungkapan Jawa, Jer basuki mawa bea (tidak ada keberhasilan tanpa pengorbanan) tampak relevan menggambarkan kaidah hidup ini. Dalam setiap kesuksesan pasti ada masa berdarah-darah (blood periods) yang kemudian mengantarkan kita pada tangga-tangga kesuksesan, secara bertahap. Dan pasti, ada yang harus dikorbankan untuk itu. Siswa yang berprestasi atau menjadi juara kelas, pasti ada banyak waktu yang ia gunakan untuk belajar. Dan tentu, ia harus mengorbankan waktunya bermain atau kegiatan yang lain.
Maka, dalam berbagai hal kesuksesan itu bertumpu pada perilaku. Perilaku positif untuk mau mengorbankan waktunya untuk bekerja keras, sungguh-sungguh, ulet, tahan banting, dsb., sebagai syarat memperoleh kesuksesan. Pendidikan menjadi kata kunci berikutnya untuk mengarahkan seseorang mempunyai perilaku positif tersebut. Lantas, dengan didikan seperti apa perilaku tersebut terbentuk?
Perlu usaha keras untuk berhasil. Ini telah menjadi kaidah yang disepakati semua orang. Namun kaidah ini tampaknya menjadi salah kaprah bagi sebagian orang. Atas dalih menguatkan mental, ada orang-orang yang memberi pembenaran tindakan kekerasan fisik dalam mendidik. Hal itu dianggap akan melahirkan sosok yang tahan banting untuk memperoleh keberhasilan. Kekerasan fisik yang dialami para praja IPDN Sumedang tampak didasari atas pemahaman seperti ini.
Benarkah kekerasan fisik dalam melakukan pendidikan akan mengantarkan kita pada tujuan? Kekerasan fisik yang terjadi IPDN paling tidak telah memberikan bukti bahwa kekerasan akan berdampak turun-temurun dan kumulatif. Praja senior mengulang kekerasan kepada praja yunior sebagaimana dahulu dilakukan oleh senior sebelumnya. Hasrat untuk ”membalas” lebih keras pun terjadi. Akibatnya fatal. Beberapa praja meninggal atas dalih pembinaan.
Peristiwa di IPDN bisa jadi hanyalah puncak gunung es dari kekerasan dengan dalih pembinaan dan pendidikan. Masih banyak nuansa kekerasan dalam dunia pendidikan yang patut dikoreksi. Seperti perilaku mahasiswa tingkat lanjut dalam perploncoan yang tidak beranjak pintar untuk membedakan antara olahraga/outbond (untuk meningkatkan kekuatan fisik/mental); dengan ucapan kasar (yang akan menumpulkan kepekaan moral) kepada mahasiswa junior. Atau bisa jadi, nuansa kekerasan itu terlembagakan secara sistemik lewat kebijakan passing grade Ujian Nasional (UN). Standar kelulusan secara kaku (baca: keras) ditentukan oleh kemampuan siswa mengerjakan soal ujian. Siswa dipaksa untuk melewati standar nilai kelulusan. Ada simplifikasi (penyederhanaan) yang luar biasa ketika kelulusan itu hanya dinilai dari angka-angka ijazah. Siswa tertekan, guru risau menanggung malu jika anak didiknya tak lulus. Kondisi sulit seolah membenarkan tindakan lancung. Ada sebagian guru membantu muridnya mengerjakan soal UN, sepengetahuan kepala sekolah, dengan permakluman kepala dinas. Pepatah ’guru kencing berdiri murid kencing berlari’ menjadi mimpi buruk yang (hampir) menjadi kenyataan. Di mana letak generasi bermoral sebagai tujuan pendidikan itu?

Kausalitas
Para guru/pendidik rasanya cukup akrab dengan kata-kata bijak Dorothy Law Nolte “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki. Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak belajar dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.”
Dorothy Law Nolte mengingatkan kita bahwa setiap input (masukan) pada objek didik pasti akan kita dapati dampaknya di kemudian hari. Bila buruk yang diterima begitu juga yang keluar. Bahkan untuk urusan memberi nama saja, Rasulullah melarang memberi nama anak yang mempunyai konotasi keras dan negatif. ”Sejelek-jelek nama adalah Harb (perang), dan Munah (pahit).”
Ada hubungan kausalitas (sebab-akibat) dalam pendidikan. Karenanya, bila ada sebagian orang yang menghubungkan kekerasan di IPDN dengan buruknya manajemen pemerintahan (sebagai dampak) dapat kita maklumi.
Rasulullah saw, yang telah berhasil mendidik sahabatnya mencapai kesuksesan, tak pernah kita dapati sedikitpun melakukan kekerasan dalam mendidik. Anas bin Malik.yang semenjak belia menjadi khadam (pembantu) Rasulullah saw berkisah. ”Aku menjadi pelayan Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Belum pernah dia memukulku satu pukulan pun; tidak pernah membentakku atau bermuka masam kepadaku. Bila aku malas melakukan apa yang diperintahnya, dia tidak memakiku. Bila salah seorang di antara keluarganya mengecamku, beliau berkata “Biarkanlah dia.”
Bentuk kekerasan dalam mendidik itu beragam.Bisa kekerasan fisik (seperti yang telanjang di IPDN) atau bentuk intimidasi yang membentuk mentalitas inferior (rendah diri) peserta didik. Semuanya punya konsekuensi negatif yang tidak memperoleh pembenaran dalam Islam, lewat perilaku Rasulullah.
Oleh karena itu di tengah kerasnya suasana perang Badar, kelembutan Rasulullah tak pudar. Ketika terpaksa memukul Sawad bin Ghazyah atas ketidak-patuhannya, beliau tak segan untuk langsung dimintai balasan (qishash). Pendidikan cinta dari Rasululah secara nyata telah menorehkan hasil gemilang dalam sejarah yang pengaruhnya dapat kita rasakan sampai saat ini***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai