“…Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS Mujaadilah: 11)
Dikisahkan dalam sebuah hadits, ada seseorang terluka di kepalanya tertimpa batu. Selanjutnya, ia mendapatkan hadats besar lantaran mimpi, padahal ia terluka. “Adakah yang dapat meringankan diriku ini dari kewajiban mandi?,“ tanyanya kemudian. Tidak ada jawaban lain dari kaumnya, selain jawaban bahwa ia harus mandi untuk menyucikan dirinya. Lalu, mandilah ia. Setelah itu luka di kepalanya bertambah parah karena tersiram air. Ia menggigil demam, sampai kemudian maut menjemputnya. Peristiwa tersebut kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
Mendengar kabar tersebut, Nabi yang mulia merah padam mukanya, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Bukankah obat kebodohan itu adalah bertanya? Nabi saw. kemudian menjelaskan, sebenarnya cukup baginya tayamum, lalu dia bebat lukanya dengan sekeping kain, lalu usap atas bebatan tersebut dan ia mandikan seluruh badannya. Atau seperti sampaikan oleh Atha’ r.a., cukuplah diusap bagian yang terluka tersebut, tanpa harus disiram (HR Ibnu Majah).
Mari kita simak perkataan Rasulullah di atas. Bukan pada masalah thaharah (bersuci) yang telah banyak dibahas para ulama. Tapi, pada kemarahan Nabi yang mulia saat mengetahui peristiwa tersebut. Kematian tersebut adalah kesalahan besar dan fatal, sampai-sampai Rasulullah mengeluarkan perkataan keras bahwa kaumnya sendiri yang telah sengaja membunuh orang tersebut, bahkan kaum tersebut layak dibinasakan karena kesalahannya.
Nabi yang mulia menegaskan tentang keharusan bertanya karena ketidaktahuan kita atas suatu masalah. Ketidaktahuan yang dikuti ketidakmauan bertanya sama artinya dengan bencana. Yaitu, ketika keputusan yang tidak didasari pengetahuan tersebut malah melahirkan permasalahan baru yang lebih besar. Inilah hakikat dari kewajiban menuntut ilmu, yang dimulai dari bertanya kemudian diikuti dengan kemampuan memberi solusi terbaik. Melakukan perbaikan tanpa didasari pengetahuan, maka kemudharatan yang ditimbulkan akan lebih besar daripada manfaat yang didapat.
Allah akan meninggikan derajat orang yang menuntut ilmu. Janji Allah tersebut berlaku di dunia dan di akherat. Kemalasan menuntut ilmu pasti akan berbuah keburukan di kemudian hari. Seperti yang dialami oleh negeri ini. Dahulu kita menganggap remeh perkara pendidikan. Kita lebih terpukau dengan pembangunan fisik, yang diangggap lebih terlihat manfaatnya langsung di masyarakat. Negeri jiran Malaysia, punya pemahaman berbeda ketika mereka lebih mementingkan dunia pendidikan. Nyaris tidak ada pembangunan fisik yang berarti di awal kemerdekaannya, karena anggaran negara banyak digunakan di sektor pendidikan. Mereka merelakan diri belajar ke Indonesia, bahkan merekrut banyak pengajar dari Indonesia. Hasilnya, saat ini tingkat kemakmuran di Malaysia jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Malaysia mampu menyelesaikan banyak persoalan warganya, jauh dibanding Indonesia yang tak pernah tuntas menyelesaikan masalah, bahkan sekedar urusan pembantu rumah tangga yang harus pergi jauh sampai ke Malaysia.
Bencana Itu, di Kemudian Hari
Miskin ilmu itu bencana. Tidak saja secara pribadi, tetapi seluruh umat manusia. Disadari atau tidak, sesungguhnya saat ini kita banyak memetik buah celaka dari sebuah keputusan yang “miskin” dari landasan ilmu pengetahuan. Bahkan, ini bukan lagi perkara individu yang dialami satu atau dua orang. Ini telah menjadi bencana yang menimpa kita secara bersama-sama. Seperti saat kita mengingat tujuh tahun bergulirnya reformasi di negara ini.
Tidak ada yang layak dicela saat reformasi itu pertama digulirkan. Reformasi sejatinya punya makna sepadan dengan islah, upaya perbaikan mulia yang dianjurkan agama. Namun tak banyak yang memahami hal ini. Berganti hari dan tahun, seiring dengan pergantian kepala pemerintahan, kita tidak banyak menemukan tanda-tanda perbaikan. Malahan, kita banyak disuguhi cerita tentang perebutan jabatan. Era kekebasan dipahami sebagai kesempatan memperoleh jabatan dan kekayaan. Maka, pada kondisi seperti ini, islah (reformasi) tidak punya arti lain kecuali rentetan tragedi. Tentang seorang caleg (calon anggota legislatif) yang gagal, yang menyisakan lilitan hutang, lalu putus asa, kemudian bunuh diri bersama keluarganya; tentang anggota KPU yang harus mendekam di bui karena tersangkut korupsi; juga tentang jutaan rakyat yang harus menderita karena pemimpin yang tidak punya keahlian memadai mengelola negara.
Miskin ilmu itu bencana. Ini terjadi saat keterbatasan pengetahuan kita tersebut membuat seringkali memperturutkan prasangka. Seperti pemerintah Amerika yang selalu melihat Islam dalam pandangan negatif. Segala kegiatan keislaman dianggap ancaman. Sosok Muslim taat dalam semesta pengetahuan yang mereka miliki selalu diidentikkan dengan kelompok pengacau keamanan, teroris, dan berbagai perilaku buruk lainnya. Kala gedung WTC hancur di bulan September 2001, Islam dijadikan tertuduh. Sama sekali tidak ada bukti yang bisa memperkuat tuduhan kelompok Islamlah pelakunya. Hari ini kita menyaksikan tuduhan tersebut telah berbuah sangat pahit. Afghanistan harus luluh lantak. Ribuan orang harus kehilangan nyawa dan jutaan penduduknya diliputi duka lara berkepanjangan. Miskin ilmu yang berbalut arogansi kekuasaan selalu menimbulkan bencana kemanusiaan beruntun. Seperti saat Amerika dengan pongah kembali menuruti selera liarnya menyerang Irak. Jutaan orang terlantar dan nyaris tak punya masa depan.
Miskin ilmu itu bencana. Apalagi saat ini merupakan masalah yang berjalin kelindan dengan kemiskinan ekonomi, minimnya kasih sayang orang tua, serta ketidak pedulian masyarakat di sekitarnya. Seperti yang dialami Eko Haryanto. Ia kelas VI SD di Tegal. Tidak ada yang menyangka anak seusianya akan membuat keputusan nekat. Lantaran malu tidak membayar SPP, ia menggantung diri menggunakan selendang di ruang tamu rumahnya (Kompas 3/5/2005). Ini hanya salah satu cerita dari kisah serupa yang juga dialami siswa sekolah lain. Di Kabupaten Tegal saja, usaha bunuh diri oleh seorang siswa ini merupakan kasus kedua. Sebelumnya, 7 April 2005, Bunyamin seorang siswa SMK di Tegal juga tewas gantung diri. Ini melengkapi cerita tentang pribadi yang miskin harta sekaligus miskin ilmu. Dua sisi kelemahan tersebut melahirkan keputusan miris dan nista. Miskin harta secara pasti menyulitkan seseorang dunia. Namun, keputusan untuk bunuh diri, secara pasti juga menjadi tragedi lagi bagi seseorang saat di akherat nanti.
Miskin ilmu itu bencana. Ini juga terjadi saat kita menganggap bahwa perkara mencari ilmu pengetahuan hanya dianggap sebagai kewajiban pribadi. Lalu kita abai untuk mengajarkan kepada yang lain, atau tak sedikitpun turut serta ambil peduli memberi bantuan kemudahan bagi mereka yang kesulitan. Padahal, Allah secara tegas menvonis kita saat lalai dengan urusan masyarakat sekitar kita.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS Al Maaun 1-7)
Maka, saat mencermati perkataan Rasullullah saw. yang bernada marah di atas, selayaknya, ada kesadaran di masing-masing pribadi kita untuk menghindarkan diri dari kemungkinan bencana yang timbul. Dengan terus mengembangkan kapasitas keilmuan kita, sekaligus ambil peduli dengan permasalahan di sekitar kita.***
Kejayaan Islam dalam Ilmu Pengetahuan
Tidak ada perintah meminta tambahan seperti meminta tambahan ilmu. Bahkan perintah itu di arahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. ”Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS Thaaha: 114)
Islam pernah mengalami masa-masa kejayaan ketika kemakmuran itu merata dirasakan oleh seluruh penduduk. Para Ahli sejarah mencatat banyak sekali kemajuan umat Islam dibandingkan dengan umat lain semasanya. Di Granada (Spanyol, sekarang), di zama kekhalifahan Islam, jalan-jalan mengalami pengerasan dan diberi lampu penerangan, sesuatu yang tidak diketemukan di manapun di Eropah waktu itu. Di jaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, Baitul Mal kesulitan menampung dan menyalurkan zakat dan pajak karena tak ada lagi warga yang miskin.
Sejarah Islam juga telah memberikan bukti, bahwa kejayaan dan masa keemasan yang pernah diraih oleh Islam itu dilandasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang kokoh. Di beberapa abad pertengahan, saat negeri-negeri Islam mempunyai standar kesejahteraan yang tinggi dibandingkan Barat, budaya membaca adalah tradisi yang kokoh di masyarakat Islam. Sebagaimana dicatat oleh Roger Garaudy dalam Buku Janji-Janji Islam (terjemahan), pada awal tahun 800 Masehi, perpustakaan tumbuh subur di seluruh Jazirah Arab. Khalifah Al Makmun, pada tahun 815 mendirikan di kota Baghdad “Baitul Hikmah” sebuah perpustakaan yang berisikan sejuta buku. Pada tahun 891 M seorang pengembara menghitung lebih dari 100 perpustakaan di Baghdad.
Hal tersebut juga diikuti dengan deretan prestasi ilmiah yang lain. Pada abad ke-10 suatu kota kecil di Najaf di Irak, mempunyai 40.000 buku. Direktur observatorium Maragha, Nashiruddin At-Tusi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di Dunia Islam sebelah barat, di Kordoba (sekarang Spanyol) Khalih Al Hakim dapat membanggakan diri pada abad ke-10 karena memiliki perpustakaan yang berisi 400.000 buku. Tetapi, tak ada yang menyaingi khalifah di Kairo Mesir, Al Aziz, yang memiliki dalam perpustakaannya 1.600.000. buah buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat. Padahal empat abad sesudah itu, di Eropa, Raja Perancis Charles Yang Bijaksana (gelar yang disematkan karena dianggap paling pandai) hanya memiliki koleksi 900 buah buku (Roger Garaudy, 1981, Promesses de l’Islam).
Di masa dahulu, umat Islam giat sekali mengembangkan sains. Hingga abad ke-13 secara terus menerus ilmu pengetahuan dapat dikatakan adalah 'milik' umat Islam. Kita mengenal Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang dikenal sebagai bapak ilmu kimia. Kita mengenal Ibnu Sina (981-1037) seorang dokter, filsuf, ensiklopedis, ahli matematika dan astronom terkemuka di zamannya. Kita juga mengenal ilmuwan-ilmuwan besar lainnya seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Khuldun, Al-Kindi, Al-Biruni, Al-Razi, Al-Khwarizmi, Al-Idrisi, Ibnu Al-Haytham, Umar Al-Khayyam dan sebagainya.
Bila semangat mencari ilmu tersebut juga dilakukan oleh generasi saat ini kejayaan Islam bukan mustahil tinggal menunggu waktu saja. Sebagaimana kata John Naisbitt seorang futurolog (ahli pemerkira masa depan), abad ke-21 adalah abad teknologi dan ilmu pengetahuan. Warisan peradaban Islam membuktikan bahwa kejayaan Islam berbanding lurus dengan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan (sains).
Saat ini, geliat umat Islam untuk kembali mengkaji Islam mulai terlihat. Ilmu keislaman yang terkait dengan sistem ekonomi, sains, politik, sosial-humaniora, serta ilmu-ilmu yang lain banyak dikaji para ahli. Menariknya, geliat memahami Islam ini juga muncul di negeri-negeri Barat (Amerika dan Eropa). Studi keislaman yang dilakukan di universitas terkemuka di Eropa dan Amerika mengakibatkan banyak orang yang mengenal dan kemudian memeluk Islam. Dakwah nampak semarak di negeri-negeri Barat. Semoga ini menjadi tonggak baru Islam untuk kembali memimpin peradaban. Seperti kata Syaikh Yusuf Qardhawy, seorang ulama asal Mesir, insya Allah fajar kemenangan itu tinggal menunggu waktu saja tatkala Barat nanti akan kita tundukkan dengan lisan dan ilmu pengetahuan. *** (kholid d suseno)
Dikisahkan dalam sebuah hadits, ada seseorang terluka di kepalanya tertimpa batu. Selanjutnya, ia mendapatkan hadats besar lantaran mimpi, padahal ia terluka. “Adakah yang dapat meringankan diriku ini dari kewajiban mandi?,“ tanyanya kemudian. Tidak ada jawaban lain dari kaumnya, selain jawaban bahwa ia harus mandi untuk menyucikan dirinya. Lalu, mandilah ia. Setelah itu luka di kepalanya bertambah parah karena tersiram air. Ia menggigil demam, sampai kemudian maut menjemputnya. Peristiwa tersebut kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw.
Mendengar kabar tersebut, Nabi yang mulia merah padam mukanya, “Mereka telah membunuhnya, semoga Allah membinasakan mereka. Bukankah obat kebodohan itu adalah bertanya? Nabi saw. kemudian menjelaskan, sebenarnya cukup baginya tayamum, lalu dia bebat lukanya dengan sekeping kain, lalu usap atas bebatan tersebut dan ia mandikan seluruh badannya. Atau seperti sampaikan oleh Atha’ r.a., cukuplah diusap bagian yang terluka tersebut, tanpa harus disiram (HR Ibnu Majah).
Mari kita simak perkataan Rasulullah di atas. Bukan pada masalah thaharah (bersuci) yang telah banyak dibahas para ulama. Tapi, pada kemarahan Nabi yang mulia saat mengetahui peristiwa tersebut. Kematian tersebut adalah kesalahan besar dan fatal, sampai-sampai Rasulullah mengeluarkan perkataan keras bahwa kaumnya sendiri yang telah sengaja membunuh orang tersebut, bahkan kaum tersebut layak dibinasakan karena kesalahannya.
Nabi yang mulia menegaskan tentang keharusan bertanya karena ketidaktahuan kita atas suatu masalah. Ketidaktahuan yang dikuti ketidakmauan bertanya sama artinya dengan bencana. Yaitu, ketika keputusan yang tidak didasari pengetahuan tersebut malah melahirkan permasalahan baru yang lebih besar. Inilah hakikat dari kewajiban menuntut ilmu, yang dimulai dari bertanya kemudian diikuti dengan kemampuan memberi solusi terbaik. Melakukan perbaikan tanpa didasari pengetahuan, maka kemudharatan yang ditimbulkan akan lebih besar daripada manfaat yang didapat.
Allah akan meninggikan derajat orang yang menuntut ilmu. Janji Allah tersebut berlaku di dunia dan di akherat. Kemalasan menuntut ilmu pasti akan berbuah keburukan di kemudian hari. Seperti yang dialami oleh negeri ini. Dahulu kita menganggap remeh perkara pendidikan. Kita lebih terpukau dengan pembangunan fisik, yang diangggap lebih terlihat manfaatnya langsung di masyarakat. Negeri jiran Malaysia, punya pemahaman berbeda ketika mereka lebih mementingkan dunia pendidikan. Nyaris tidak ada pembangunan fisik yang berarti di awal kemerdekaannya, karena anggaran negara banyak digunakan di sektor pendidikan. Mereka merelakan diri belajar ke Indonesia, bahkan merekrut banyak pengajar dari Indonesia. Hasilnya, saat ini tingkat kemakmuran di Malaysia jauh lebih tinggi dibanding Indonesia. Malaysia mampu menyelesaikan banyak persoalan warganya, jauh dibanding Indonesia yang tak pernah tuntas menyelesaikan masalah, bahkan sekedar urusan pembantu rumah tangga yang harus pergi jauh sampai ke Malaysia.
Bencana Itu, di Kemudian Hari
Miskin ilmu itu bencana. Tidak saja secara pribadi, tetapi seluruh umat manusia. Disadari atau tidak, sesungguhnya saat ini kita banyak memetik buah celaka dari sebuah keputusan yang “miskin” dari landasan ilmu pengetahuan. Bahkan, ini bukan lagi perkara individu yang dialami satu atau dua orang. Ini telah menjadi bencana yang menimpa kita secara bersama-sama. Seperti saat kita mengingat tujuh tahun bergulirnya reformasi di negara ini.
Tidak ada yang layak dicela saat reformasi itu pertama digulirkan. Reformasi sejatinya punya makna sepadan dengan islah, upaya perbaikan mulia yang dianjurkan agama. Namun tak banyak yang memahami hal ini. Berganti hari dan tahun, seiring dengan pergantian kepala pemerintahan, kita tidak banyak menemukan tanda-tanda perbaikan. Malahan, kita banyak disuguhi cerita tentang perebutan jabatan. Era kekebasan dipahami sebagai kesempatan memperoleh jabatan dan kekayaan. Maka, pada kondisi seperti ini, islah (reformasi) tidak punya arti lain kecuali rentetan tragedi. Tentang seorang caleg (calon anggota legislatif) yang gagal, yang menyisakan lilitan hutang, lalu putus asa, kemudian bunuh diri bersama keluarganya; tentang anggota KPU yang harus mendekam di bui karena tersangkut korupsi; juga tentang jutaan rakyat yang harus menderita karena pemimpin yang tidak punya keahlian memadai mengelola negara.
Miskin ilmu itu bencana. Ini terjadi saat keterbatasan pengetahuan kita tersebut membuat seringkali memperturutkan prasangka. Seperti pemerintah Amerika yang selalu melihat Islam dalam pandangan negatif. Segala kegiatan keislaman dianggap ancaman. Sosok Muslim taat dalam semesta pengetahuan yang mereka miliki selalu diidentikkan dengan kelompok pengacau keamanan, teroris, dan berbagai perilaku buruk lainnya. Kala gedung WTC hancur di bulan September 2001, Islam dijadikan tertuduh. Sama sekali tidak ada bukti yang bisa memperkuat tuduhan kelompok Islamlah pelakunya. Hari ini kita menyaksikan tuduhan tersebut telah berbuah sangat pahit. Afghanistan harus luluh lantak. Ribuan orang harus kehilangan nyawa dan jutaan penduduknya diliputi duka lara berkepanjangan. Miskin ilmu yang berbalut arogansi kekuasaan selalu menimbulkan bencana kemanusiaan beruntun. Seperti saat Amerika dengan pongah kembali menuruti selera liarnya menyerang Irak. Jutaan orang terlantar dan nyaris tak punya masa depan.
Miskin ilmu itu bencana. Apalagi saat ini merupakan masalah yang berjalin kelindan dengan kemiskinan ekonomi, minimnya kasih sayang orang tua, serta ketidak pedulian masyarakat di sekitarnya. Seperti yang dialami Eko Haryanto. Ia kelas VI SD di Tegal. Tidak ada yang menyangka anak seusianya akan membuat keputusan nekat. Lantaran malu tidak membayar SPP, ia menggantung diri menggunakan selendang di ruang tamu rumahnya (Kompas 3/5/2005). Ini hanya salah satu cerita dari kisah serupa yang juga dialami siswa sekolah lain. Di Kabupaten Tegal saja, usaha bunuh diri oleh seorang siswa ini merupakan kasus kedua. Sebelumnya, 7 April 2005, Bunyamin seorang siswa SMK di Tegal juga tewas gantung diri. Ini melengkapi cerita tentang pribadi yang miskin harta sekaligus miskin ilmu. Dua sisi kelemahan tersebut melahirkan keputusan miris dan nista. Miskin harta secara pasti menyulitkan seseorang dunia. Namun, keputusan untuk bunuh diri, secara pasti juga menjadi tragedi lagi bagi seseorang saat di akherat nanti.
Miskin ilmu itu bencana. Ini juga terjadi saat kita menganggap bahwa perkara mencari ilmu pengetahuan hanya dianggap sebagai kewajiban pribadi. Lalu kita abai untuk mengajarkan kepada yang lain, atau tak sedikitpun turut serta ambil peduli memberi bantuan kemudahan bagi mereka yang kesulitan. Padahal, Allah secara tegas menvonis kita saat lalai dengan urusan masyarakat sekitar kita.
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (QS Al Maaun 1-7)
Maka, saat mencermati perkataan Rasullullah saw. yang bernada marah di atas, selayaknya, ada kesadaran di masing-masing pribadi kita untuk menghindarkan diri dari kemungkinan bencana yang timbul. Dengan terus mengembangkan kapasitas keilmuan kita, sekaligus ambil peduli dengan permasalahan di sekitar kita.***
Kejayaan Islam dalam Ilmu Pengetahuan
Tidak ada perintah meminta tambahan seperti meminta tambahan ilmu. Bahkan perintah itu di arahkan kepada Rasulullah Muhammad saw. ”Dan katakanlah: "Ya Tuhanku, tambahkanlah kepadaku ilmu pengetahuan." (QS Thaaha: 114)
Islam pernah mengalami masa-masa kejayaan ketika kemakmuran itu merata dirasakan oleh seluruh penduduk. Para Ahli sejarah mencatat banyak sekali kemajuan umat Islam dibandingkan dengan umat lain semasanya. Di Granada (Spanyol, sekarang), di zama kekhalifahan Islam, jalan-jalan mengalami pengerasan dan diberi lampu penerangan, sesuatu yang tidak diketemukan di manapun di Eropah waktu itu. Di jaman khalifah Umar bin Abdul Aziz, Baitul Mal kesulitan menampung dan menyalurkan zakat dan pajak karena tak ada lagi warga yang miskin.
Sejarah Islam juga telah memberikan bukti, bahwa kejayaan dan masa keemasan yang pernah diraih oleh Islam itu dilandasi oleh tradisi ilmu pengetahuan yang kokoh. Di beberapa abad pertengahan, saat negeri-negeri Islam mempunyai standar kesejahteraan yang tinggi dibandingkan Barat, budaya membaca adalah tradisi yang kokoh di masyarakat Islam. Sebagaimana dicatat oleh Roger Garaudy dalam Buku Janji-Janji Islam (terjemahan), pada awal tahun 800 Masehi, perpustakaan tumbuh subur di seluruh Jazirah Arab. Khalifah Al Makmun, pada tahun 815 mendirikan di kota Baghdad “Baitul Hikmah” sebuah perpustakaan yang berisikan sejuta buku. Pada tahun 891 M seorang pengembara menghitung lebih dari 100 perpustakaan di Baghdad.
Hal tersebut juga diikuti dengan deretan prestasi ilmiah yang lain. Pada abad ke-10 suatu kota kecil di Najaf di Irak, mempunyai 40.000 buku. Direktur observatorium Maragha, Nashiruddin At-Tusi memiliki kumpulan buku sejumlah 400.000 buah. Di Dunia Islam sebelah barat, di Kordoba (sekarang Spanyol) Khalih Al Hakim dapat membanggakan diri pada abad ke-10 karena memiliki perpustakaan yang berisi 400.000 buku. Tetapi, tak ada yang menyaingi khalifah di Kairo Mesir, Al Aziz, yang memiliki dalam perpustakaannya 1.600.000. buah buku, di antaranya 16.000 buah tentang matematika dan 18.000 tentang filsafat. Padahal empat abad sesudah itu, di Eropa, Raja Perancis Charles Yang Bijaksana (gelar yang disematkan karena dianggap paling pandai) hanya memiliki koleksi 900 buah buku (Roger Garaudy, 1981, Promesses de l’Islam).
Di masa dahulu, umat Islam giat sekali mengembangkan sains. Hingga abad ke-13 secara terus menerus ilmu pengetahuan dapat dikatakan adalah 'milik' umat Islam. Kita mengenal Jabir Ibnu Hayyan (721-815) yang dikenal sebagai bapak ilmu kimia. Kita mengenal Ibnu Sina (981-1037) seorang dokter, filsuf, ensiklopedis, ahli matematika dan astronom terkemuka di zamannya. Kita juga mengenal ilmuwan-ilmuwan besar lainnya seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Khuldun, Al-Kindi, Al-Biruni, Al-Razi, Al-Khwarizmi, Al-Idrisi, Ibnu Al-Haytham, Umar Al-Khayyam dan sebagainya.
Bila semangat mencari ilmu tersebut juga dilakukan oleh generasi saat ini kejayaan Islam bukan mustahil tinggal menunggu waktu saja. Sebagaimana kata John Naisbitt seorang futurolog (ahli pemerkira masa depan), abad ke-21 adalah abad teknologi dan ilmu pengetahuan. Warisan peradaban Islam membuktikan bahwa kejayaan Islam berbanding lurus dengan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan (sains).
Saat ini, geliat umat Islam untuk kembali mengkaji Islam mulai terlihat. Ilmu keislaman yang terkait dengan sistem ekonomi, sains, politik, sosial-humaniora, serta ilmu-ilmu yang lain banyak dikaji para ahli. Menariknya, geliat memahami Islam ini juga muncul di negeri-negeri Barat (Amerika dan Eropa). Studi keislaman yang dilakukan di universitas terkemuka di Eropa dan Amerika mengakibatkan banyak orang yang mengenal dan kemudian memeluk Islam. Dakwah nampak semarak di negeri-negeri Barat. Semoga ini menjadi tonggak baru Islam untuk kembali memimpin peradaban. Seperti kata Syaikh Yusuf Qardhawy, seorang ulama asal Mesir, insya Allah fajar kemenangan itu tinggal menunggu waktu saja tatkala Barat nanti akan kita tundukkan dengan lisan dan ilmu pengetahuan. *** (kholid d suseno)
Komentar