“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”
(QS Ath Thalaq: 7).
“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini, insya Allah akan mendapat rahmat-Nya,” sabda Rasulullah. Hal itu disampaikan karena beliau hanya mempunyai air minum untuk tamunya.
Tamu Rasulullah itu lalu diajak Abu Thalhah. “Adakah makanan buat tamu kita ini?” kata Abu Thalhah kepada isteri sesampai di rumah.
“Sedikitpun tidak ada, kecuali untuk sekali makan anak kita,” jawab Ummu Sulaim, isteri Abu Thalhah.
“Baiklah, tidurkan saja anak kita. Hidangkan makanan itu buat tamu kita.”
Abu Thalhah lantas mematikan lampu. Sang isteri lantas menghidangkan sepiring makanan untuk tamunya.
Kemudian, si tamu dengan lahap menyantap hidangan yang tersaji, ditemani Abu Thalhah yang bersandiwara. Dalam kegelapan ia melihat bayangan tuan rumah di depannya seakan sedang makan juga. Ia tak menyadari piring Abu Thalhah kosong, hanya “memakan” angin.
Usai makan dan kenyang, tamu itupun pamit. Tinggallah tuan rumah sekeluarga tidur dengan menahan lapar.
Keesokan harinya, Nabi menyambut Abu Thalhah dengan senyum lebar. “Ketahuilah sahabatku, Allah swt terpesona dengan pengorbanan engkau dan isterimu semalam.” Kemudian beliau membacakan ayat, “…mereka telah mendahulukan kepentingan orang lain walaupun mereka sendiri sedang kesusahan.”(QS Al Hasyr: 9).
Kedermawanan
Memberi dari sesuatu yang berlebih tentu sewajarnya. Pemberian itu bisa jadi juga tidak terasa istimewa karena kita tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Tetapi, saat kekayaan itu terbatas, pekerjaan memberi itu pasti luar biasa. Sesungguhnya wajar saja seandainya Abu Thalhah tidak bersedia menjamu tamu Rasulullah lantaran ia hanya memiliki sepiring hidangan untuk anaknya.
Namun Abu Thalhah melakukan hal yang sebaliknya, sehingga Allah memuji dia. Keimanan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim mencapai taraf seperti yang difirmankan Allah, “Kalian tidak akan pernah mencapai kebajikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali Imraan: 92).
Kisah Abu Thalhah sebagaimana diriwayatkan Muslim, memberikan keteladanan yang patut kita tiru. Di tengah segala keterbatasan yang kita alami, selayaknya upaya memberikan kebaikan itu tidak lantas berhenti. Semangat kedermawanan, berupaya menjadi bagian dari penyelesaian (part of solution), adalah pilihan peran orang mukmin yang harus diambil apapun latar belakangnya. Inilah pemaknaan yang selayaknya kita miliki dalam memahami “status kemuliaan/kebaikan” dalam Islam. “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain,” kata Rasulullah dalam sebuah hadist yang masyhur.
Bermanfaat bagi orang lain itu tentu tidak lantas diukur dari besaran sumbangan atau nominal uang. Ada berbagai cara untuk lebih bermanfaat bagi yang lain. Namun, pada karakter dasarnya, memberi manfaat itu menyangkut upaya sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik dari setiap pribadi. “Ajruki ‘ala qadri nashabiqi. ‘Pahala itu tergantung pada kadar lelahmu,’” kata Rasulullah. Jadi bukan ini kerja ala kadar, sekadar melaksanakan tugas dalam pemerintahan, atau malah kebohongan (kamuflase) untuk memberikan manfaat sesaat. Sekali lagi, memberi manfaat kepada orang lain itu menyangkut upaya serius, bukan menggampangkan masalah, serta tidak berimbas negatif untuk pada sisi yang lain atau masa yang akan datang.
Bersegera
Pelajaran tentang kedermawanan ini juga banyak kita temui dari Rasulullah, guru Abu Thalhah. Seperti ketika seorang wanita menghadiahi Rasulullah sebuah selendang indah. Rasulullah gembira menerima pemberian itu. Beliau memang memerlukan selendang itu. Langsung dikenakanlah selendang itu.
Seorang sahabat berkomentar, “Alangkah indahnya selendang itu ya Rasululah, bolehkah aku memintanya?” Para sahabat gusar mendengar permintaan kurang sopan itu. Namun, dengan ringan Rasulullah berkata, “Oh, silahkan, ambillah,” seraya melepas selendang dan memberikannya.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah berbagi kegembiraan dengan sahabat yang lain.”Lihatlah, alangkah indahnya baju yang kupakai ini. Tiba-tiba seorang Arab Badui menyela, “Wahai Rasulullah, baju tersebut buat aku saja.”
Tanpa pikir panjang Rasulullah segera melepas baju barunya lalu memberikan kepada si Badui. Sebagai pengganti, Rasulullah cukup meminta menjahit kain dengan motif yang sama.
Dari Abu Thalhah, juga dari Rasulullah saw. kita punya cermin keteladanan yang dapat digunakan oleh siapa saja. Bagi kita secara pribadi, kelompok masyarakat, juga untuk mereka yang kebetulan menempati jabatan dalam pemerintahan. Memberi manfaat kepada orang lain itu selayaknya disegerakan dalam setiap kondisi yang kita punyai. Juga dilandasi kesungguhan seraya memastikan bahwa kebaikan itu tidak berdampak kepada keburukan yang lain.
Zakat dan Sedekah
Islam sesungguhnya mempunyai banyak instrumen yang memungkinkan kita dapat memberi sumbangsih kebaikan bagi setiap orang. Konsep universal dalam Islam, bahwa kita diciptakan hanya untuk beribadah, membuat segala sesuatu dapat bernilai kebaikan.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyat: 56)
Sejauh hal itu diniatkan untuk beribadah, terlepas berapapun ukuran dan volumenya, Allah akan menilainya sebagai pahala.
Zakat adalah instrumen pemberian yang diwajibkan (tanpa ada dalih untuk mengelak) bagi orang yang kelebihan hartanya (melampau nishab). Tetapi bagi orang yang pas-pasan (belum melampaui nishab) ada juga instrumen lain yaitu infak dan sedekah. Hal ini tentu tidak kurang nilai manfatnya bila dapat dilaksanakan secara bersama oleh umat Islam. Bisa jadi infak sedekah tersebut hanya “uang receh” tetapi bila banyak dan terakumulasi maka akan memberikan kemanfaatan yang tidak sedikit.
Tidak ada yang boleh dipandang remeh (inferior) terkait amalan kebaikan itu. Derajatnya sama dimata Allah sejauh diniatkan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh (sebagai capaian maksimal yang bisa kita perbuat).
Pelajaran tentang rasa rendah diri (inferior) yang terkait dengan amalan ini seperti yang terjadi dalam pengaduan beberapa sahabat kepada Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim berikut.
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan salat sebagaimana kami bersalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah(=zakat) dengan kelebihan harta mereka.
Maka Rasulullah bersabda, “Bukankah Tuhan telah menjadikan sesuatu bagimu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih, tahmid, dan tahlil adalah sedekah. Dan melarang daripada kemungkaran adalah sedekah. Mendatangi isterimu juga sedekah.”
Merekapun berkata, Wahai Rasulullah, apakah jika seorang di antara kami mengikuti syahwatnya (dengan mendatangi isterinya), adakah ia mendapat pahala karenanya?
Maka Rasulullah menjawab,”Tahukah engkau jika seorang menumpahkan syahwatnya pada yang haram tidakkah berdosa ia? Maka demikian pula apabila ia menempatkan syahwatnya pada yang halal adalah pahala baginya.”
Alangkah indahnya bila Islam itu dijalankan para pemeluknya. Ya. Tidak ada yang bernilai sia-sia dalam setiap aktivitas kita. Allah mengharuskan hal itu dalam niatan karena Allah (ibadah) yang kemudian itu akan bernilai kebaikan. Koridor ibadah akan membuat segala hal itu tetap berjalan semestinya. Inilah hikmah yang membuat “bersenang-senang” (seperti mendatangi isteri itu) tidak menjerumuskan kita pada perbuatan maksiat.
Begitu besarnya nilai dari aktivitas untuk memberi kemanfaatan bagi yang lain, Islam mewajibkan sedekah ini bagi setiap pemeluknya. Tentu tetap dalam garisnya yang proporsional, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
“Tiap-tiap anggota badan dari manusia wajib atasnya sedekah. Tiap hari apabila terbit matahari engkau damaikan antara dua orang (yang berselisih) itu adalah sedekah; menolong orang berkenaan dengan tunggangannya itu adalah sedekah; dan kata-kata yang baik adalah sedekah; setiap langkah untuk berjalan (menuju masjid) untuk salat adalah sedekah; dan menyingkirkan sesuatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (H. Mutafaqun alaih). ***
(QS Ath Thalaq: 7).
“Siapa yang bersedia menjamu tamuku ini, insya Allah akan mendapat rahmat-Nya,” sabda Rasulullah. Hal itu disampaikan karena beliau hanya mempunyai air minum untuk tamunya.
Tamu Rasulullah itu lalu diajak Abu Thalhah. “Adakah makanan buat tamu kita ini?” kata Abu Thalhah kepada isteri sesampai di rumah.
“Sedikitpun tidak ada, kecuali untuk sekali makan anak kita,” jawab Ummu Sulaim, isteri Abu Thalhah.
“Baiklah, tidurkan saja anak kita. Hidangkan makanan itu buat tamu kita.”
Abu Thalhah lantas mematikan lampu. Sang isteri lantas menghidangkan sepiring makanan untuk tamunya.
Kemudian, si tamu dengan lahap menyantap hidangan yang tersaji, ditemani Abu Thalhah yang bersandiwara. Dalam kegelapan ia melihat bayangan tuan rumah di depannya seakan sedang makan juga. Ia tak menyadari piring Abu Thalhah kosong, hanya “memakan” angin.
Usai makan dan kenyang, tamu itupun pamit. Tinggallah tuan rumah sekeluarga tidur dengan menahan lapar.
Keesokan harinya, Nabi menyambut Abu Thalhah dengan senyum lebar. “Ketahuilah sahabatku, Allah swt terpesona dengan pengorbanan engkau dan isterimu semalam.” Kemudian beliau membacakan ayat, “…mereka telah mendahulukan kepentingan orang lain walaupun mereka sendiri sedang kesusahan.”(QS Al Hasyr: 9).
Kedermawanan
Memberi dari sesuatu yang berlebih tentu sewajarnya. Pemberian itu bisa jadi juga tidak terasa istimewa karena kita tidak terlalu sulit untuk melakukannya. Tetapi, saat kekayaan itu terbatas, pekerjaan memberi itu pasti luar biasa. Sesungguhnya wajar saja seandainya Abu Thalhah tidak bersedia menjamu tamu Rasulullah lantaran ia hanya memiliki sepiring hidangan untuk anaknya.
Namun Abu Thalhah melakukan hal yang sebaliknya, sehingga Allah memuji dia. Keimanan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim mencapai taraf seperti yang difirmankan Allah, “Kalian tidak akan pernah mencapai kebajikan yang sempurna sebelum menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (QS Ali Imraan: 92).
Kisah Abu Thalhah sebagaimana diriwayatkan Muslim, memberikan keteladanan yang patut kita tiru. Di tengah segala keterbatasan yang kita alami, selayaknya upaya memberikan kebaikan itu tidak lantas berhenti. Semangat kedermawanan, berupaya menjadi bagian dari penyelesaian (part of solution), adalah pilihan peran orang mukmin yang harus diambil apapun latar belakangnya. Inilah pemaknaan yang selayaknya kita miliki dalam memahami “status kemuliaan/kebaikan” dalam Islam. “Sebaik-baik kalian adalah yang paling bermanfaat bagi yang lain,” kata Rasulullah dalam sebuah hadist yang masyhur.
Bermanfaat bagi orang lain itu tentu tidak lantas diukur dari besaran sumbangan atau nominal uang. Ada berbagai cara untuk lebih bermanfaat bagi yang lain. Namun, pada karakter dasarnya, memberi manfaat itu menyangkut upaya sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik dari setiap pribadi. “Ajruki ‘ala qadri nashabiqi. ‘Pahala itu tergantung pada kadar lelahmu,’” kata Rasulullah. Jadi bukan ini kerja ala kadar, sekadar melaksanakan tugas dalam pemerintahan, atau malah kebohongan (kamuflase) untuk memberikan manfaat sesaat. Sekali lagi, memberi manfaat kepada orang lain itu menyangkut upaya serius, bukan menggampangkan masalah, serta tidak berimbas negatif untuk pada sisi yang lain atau masa yang akan datang.
Bersegera
Pelajaran tentang kedermawanan ini juga banyak kita temui dari Rasulullah, guru Abu Thalhah. Seperti ketika seorang wanita menghadiahi Rasulullah sebuah selendang indah. Rasulullah gembira menerima pemberian itu. Beliau memang memerlukan selendang itu. Langsung dikenakanlah selendang itu.
Seorang sahabat berkomentar, “Alangkah indahnya selendang itu ya Rasululah, bolehkah aku memintanya?” Para sahabat gusar mendengar permintaan kurang sopan itu. Namun, dengan ringan Rasulullah berkata, “Oh, silahkan, ambillah,” seraya melepas selendang dan memberikannya.
Dalam kesempatan yang lain Rasulullah berbagi kegembiraan dengan sahabat yang lain.”Lihatlah, alangkah indahnya baju yang kupakai ini. Tiba-tiba seorang Arab Badui menyela, “Wahai Rasulullah, baju tersebut buat aku saja.”
Tanpa pikir panjang Rasulullah segera melepas baju barunya lalu memberikan kepada si Badui. Sebagai pengganti, Rasulullah cukup meminta menjahit kain dengan motif yang sama.
Dari Abu Thalhah, juga dari Rasulullah saw. kita punya cermin keteladanan yang dapat digunakan oleh siapa saja. Bagi kita secara pribadi, kelompok masyarakat, juga untuk mereka yang kebetulan menempati jabatan dalam pemerintahan. Memberi manfaat kepada orang lain itu selayaknya disegerakan dalam setiap kondisi yang kita punyai. Juga dilandasi kesungguhan seraya memastikan bahwa kebaikan itu tidak berdampak kepada keburukan yang lain.
Zakat dan Sedekah
Islam sesungguhnya mempunyai banyak instrumen yang memungkinkan kita dapat memberi sumbangsih kebaikan bagi setiap orang. Konsep universal dalam Islam, bahwa kita diciptakan hanya untuk beribadah, membuat segala sesuatu dapat bernilai kebaikan.
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz Dzariyat: 56)
Sejauh hal itu diniatkan untuk beribadah, terlepas berapapun ukuran dan volumenya, Allah akan menilainya sebagai pahala.
Zakat adalah instrumen pemberian yang diwajibkan (tanpa ada dalih untuk mengelak) bagi orang yang kelebihan hartanya (melampau nishab). Tetapi bagi orang yang pas-pasan (belum melampaui nishab) ada juga instrumen lain yaitu infak dan sedekah. Hal ini tentu tidak kurang nilai manfatnya bila dapat dilaksanakan secara bersama oleh umat Islam. Bisa jadi infak sedekah tersebut hanya “uang receh” tetapi bila banyak dan terakumulasi maka akan memberikan kemanfaatan yang tidak sedikit.
Tidak ada yang boleh dipandang remeh (inferior) terkait amalan kebaikan itu. Derajatnya sama dimata Allah sejauh diniatkan dengan ikhlas dan sungguh-sungguh (sebagai capaian maksimal yang bisa kita perbuat).
Pelajaran tentang rasa rendah diri (inferior) yang terkait dengan amalan ini seperti yang terjadi dalam pengaduan beberapa sahabat kepada Rasulullah dalam hadits riwayat Muslim berikut.
“Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan salat sebagaimana kami bersalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa. Dan mereka bersedekah(=zakat) dengan kelebihan harta mereka.
Maka Rasulullah bersabda, “Bukankah Tuhan telah menjadikan sesuatu bagimu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih, tahmid, dan tahlil adalah sedekah. Dan melarang daripada kemungkaran adalah sedekah. Mendatangi isterimu juga sedekah.”
Merekapun berkata, Wahai Rasulullah, apakah jika seorang di antara kami mengikuti syahwatnya (dengan mendatangi isterinya), adakah ia mendapat pahala karenanya?
Maka Rasulullah menjawab,”Tahukah engkau jika seorang menumpahkan syahwatnya pada yang haram tidakkah berdosa ia? Maka demikian pula apabila ia menempatkan syahwatnya pada yang halal adalah pahala baginya.”
Alangkah indahnya bila Islam itu dijalankan para pemeluknya. Ya. Tidak ada yang bernilai sia-sia dalam setiap aktivitas kita. Allah mengharuskan hal itu dalam niatan karena Allah (ibadah) yang kemudian itu akan bernilai kebaikan. Koridor ibadah akan membuat segala hal itu tetap berjalan semestinya. Inilah hikmah yang membuat “bersenang-senang” (seperti mendatangi isteri itu) tidak menjerumuskan kita pada perbuatan maksiat.
Begitu besarnya nilai dari aktivitas untuk memberi kemanfaatan bagi yang lain, Islam mewajibkan sedekah ini bagi setiap pemeluknya. Tentu tetap dalam garisnya yang proporsional, sesuai dengan kemampuannya masing-masing.
“Tiap-tiap anggota badan dari manusia wajib atasnya sedekah. Tiap hari apabila terbit matahari engkau damaikan antara dua orang (yang berselisih) itu adalah sedekah; menolong orang berkenaan dengan tunggangannya itu adalah sedekah; dan kata-kata yang baik adalah sedekah; setiap langkah untuk berjalan (menuju masjid) untuk salat adalah sedekah; dan menyingkirkan sesuatu rintangan dari jalan adalah sedekah. (H. Mutafaqun alaih). ***
Komentar