Langsung ke konten utama

Pemilu: Jihad Politik

Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
(TQS Al Maaidah: 49)

Ini kisah dari ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) di kelurahan tempat saya tinggal. Tentang cara kerja seorang anggota DPRD yang kembali menjadi caleg. Untuk memperoleh dukungan suara, si caleg menjalin kerja sama dengan para ketua KPPS dan pamong setempat. Ia tugaskan mereka mendata nama-nama yang bisa dipastikan untuk memilihnya. Ia "hargai" per suara Rp 50 ribu. Setiap TPS ia beri Rp 2,5 juta dengan target 50 suara.

"Jika target tidak terpenuhi, saya ambil kembali uangnya. Saya bayar sesuai dengan jumlah suara yang didapat. Jika melampaui target, misalnya dapat 70 suara, 20 suara tambahan akan saya bayar kemudian," kata si caleg. Si caleg menargetkan suara yang ia peroleh melampaui 10 ribu sebagai angka standar bilangan pembagi pemilih (BPP). Jika dihitung 10 ribu suara dikalikan dengan Rp 50 ribu, maka ada Rp 500 juta yang telah ia keluarkan. Ini belum termasuk biaya sosialisasi yang lain.
Menyimak kisahnya, saya terkesima. Politik uang yang tergolong pidana pemilu tersebut ternyata berjalan sistemik. Sepengetahuan saya, gaji resmi anggota dewan itu tak terlalu besar jika dibandingkan dengan "investasi" yang ia keluarkan. Dapat dipastikan ia berlaku tidak terpuji dengan jabatannya.

Bila cara jual-beli tersebut benar-benar menjadi modus banyak caleg, ini menjadi alamat buruk masa depan. Ada sebab-akibat yang dapat dirunut mengapa pemimpin ideal susah didapat. Karena suara rakyat sudah tergadai, dengan mentalitas buruk para wakil/pemimpinnya.
Ini menuntut kepedulian kita semua. Satu suara kita akan berhimpun menjadi suara besar. Bilik suara menjadi taruhan masa depan. Karena dari sanalah banyak hal bermula: wakil kita, pemimpin kita. Pemimpin yang darinya banyak urusan besar dan nasib rakyat itu digantungkan.
Jika satu suara itu bisa berpengaruh dalam menghadirkan pemimpin yang baik atau buruk, maka keikutsertaan kita sangat penting. Mengertilah kita, mengapa MUI sampai menetapkan fatwa haram bagi orang yang sengaja tidak mau memilih (golput).

Politik Islami
Saat ini, banyak orang yang ingin berkuasa dengan motivasi kerdil. Sekadar menuruti ambisi pribadi atau mendapat ‘jalur cepat’ memperoleh kekayaan. Membela rakyat sering hanya sebagai lips service. Niatan berkuasa jauh dari niatan ibadah.

Kita patut selidik agar tak terjerumus memilih sosok yang salah. Memilih wakil/pemimpin kita tidak bisa dipisahkan dari niatan ibadah, melaksanakan perintah Allah.

"Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?" (TQS An Nisaa’: 144).

Maka jika ditilik lebih jauh, ini lebih dari sekadar siapa yang terpilih dari pemilu. Ini adalah bagian penting dari syiar Islam. Pemilu adalah peluang untuk menghadirkan pemimpin yang lebih berpihak kepada rakyat/umat.

Sejarah kegemilangan Islam adalah sejarah kemenangan politik. Para sejarawan mencatat kecemerlangan Muhammad, karena ia adalah penyebar agama sekaligus negarawan. Jumhur ulama memandang Islam sebagai dien (agama) dan daulah (negara). Kata Imam Al Ghazali, "Ketahuilah bahwa syariat itu fondasi, dan raja (penguasa) itu penjaganya. Sesuatu yang tidak ada fondasinya pasti akan hancur, dan sesuatu yang tidak ada penjaganya niscaya akan hilang." Barangsiapa beranggapan bahwa Islam tidak mengungkap masalah politik atau bahwa politik tidak termasuk dalam agenda pembahasannya, maka ia tergolong lalai memahami Islam dan fakta sejarah.

Indonesia adalah negara dengan pemeluk Islam mayoritas yang terbesar di dunia. Dengan posisi tersebut, ada tanggung jawab besar yang kita emban. Kita menjadi wajah yang mewakili dunia Islam. Apa yang diperbuat, akan menjadi perhatian warga dunia. Peran kita amat ditunggu oleh saudara-saudara Muslim di belahan bumi yang lain.

Indonesia adalah negeri dimana Islam berkembang dengan cara yang damai. Kita tidak punya beban konflik sektarian yang akut. Tidak ada penguasa yang menjalankan sistem otoriter. Kita relatif leluasa menjalankan Islam. Sumberdaya alamnya masih melimpah. Kita punya modal besar untuk maju. Indonesia bisa menjadi wajah baru Islam di era modern.
Sayangnya, Indonesia punya budaya korupsi yang akut. Ini menjadi cacat moral yang membuat suara kita kurang disegani di kancah dunia. Karenanya, partisipasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang bersih korupsi menjadi penahapan penting untuk mewujudkan harapan-harapan yang lain. Mewujudkan kesejahteraan; menjadi kiblat dunia Islam; lalu menjadi sokoguru peradaban (ustadziyatul-alam).

Pemilu adalah momentum sejarah. Kalaupun ada yang memahami demokrasi bukan sistem Islam, seyogyanya sistem tersebut tidak lantas dijauhi, namun dimanfaatkan sebagai peluang. Sebagaimana Rasulullah memanfaatkan sistem kekabilahan sebagai bagian penting melindungi dirinya saat terusir dari Thaif, atau saat Rasulullah dan sahabat menggali parit perlindungan dalam perang Ahzab/Khandaq.

Turki bisa menjadi pelajaran di dunia modern. Umat Islam mengingat Turki dengan ratapan kesedihan, karena disanalah terakhir kekhilafahan Islam berdiri (tahun 1923). Namun saat ini, melalui jalur demokrasi, kelompok Islam (kembali) memegang tampuk kepemimpinan. Presiden Abdullah Gul dan Perdana Menteri Racep Tayeb Erdogan terpilih setelah partai Islam AKP memenangi pemilu di atas 47%. Secara perlahan, substansi hukum Islam diterapkan di Turki. Demokrasi, yang awalnya dibuat untuk memecah belah umat Islam, dijadikan sarana untuk menampilkan Islam secara santun dan elegan. Demokrasi malah menjadi bumerang bagi kaum sekuleris. Sebagaimana dicatat John L Esposito (2000), bagi kelompok Islamophobia, suara Pemilu (ballot) menjadi ancaman yang melebihi peluru (bullet).

Begitulah, selayaknya pemilu dipahami dengan narasi dan visi besar keumatan. Ya. Agar dana penyelenggaraan Pemilu yang lebih dari Rp 40 triliun itu tidak hanya menjadi cerita duka. Pemimpin ideal tak didapat, atau malah (seperti ditengarai psikolog) banyak caleg yang menjadi pasien Rumah Sakit Jiwa (RSJ) karena tidak terpilih. Motivasi kerdil hanya akan mengantarkan pada hasil yang mengecewakan.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya