Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.
(TQS An Nisa’: 29)
(TQS An Nisa’: 29)
Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras,
”Haram, haram!” seraya merampas rokok.
Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok.
Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun dasar pemakruhannya sangat berbeda dengan dasar pengharamannya di masa sekarang ini.
Dahulu para ulama hanya memandang bahwa orang yang merokok itu mulutnya berbau kurang sedap, sehingga mengganggu orang lain dalam pergaulan. Hal yang kurang disukai ini kemudian dikatakan hukumnya makruh sesuai qiyas (analogi) dengan makan bawang. Mereka masih menggunakan literatur klasik, yang ditulis beberapa ratus tahun yang lalu, di mana pengetahuan manusia tentang bahaya nikotin dan zat-zat beracun di dalam sebatang rokok masih belum nyata terlihat. Belum ada fakta dan penelitian di kala itu tentang bahaya sebatang rokok.
Bila mereka membaca penelitian terbaru tentang 200-an racun yang berbahaya yang terdapat dalam sebatang rokok, pastilah mereka akan bergidik. Dan pastilah mereka akan setuju bahwa rokok itu memberikan mudharat yang sangat besar, bahkan teramat besar. Demikian menurut Ahmad Sarwat.
Efek Sistemik
Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Shanghai Cina disebabkan rokok.
Lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan dampak buruk rokok. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu adalah tar, karbon monoksida (CO), dan nikotin.
Akibatnya, berbagai penyakit kanker pun mengintai, seperti: kanker paru-paru—90% kanker paru pada laki-laki disebabkan rokok, dan 70% untuk perempuan, kanker mulut, kanker bibir, asma, kanker leher rahim, jantung koroner, darah tinggi, stroke, kanker darah, kanker hati, bronchitis, kematian mendadak pada bayi, bahaya rusaknya kesuburan bagi wanita, dan impotensi bagi kaum pria. Prosentase kematian disebabkan rokok adalah lebih tinggi dibandingkan karena perang dan kecelakaan lalulintas.
Rokok mengakibatkan efek yang sangat kompleks. WHO memperkirakan hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia ini, termasuk bayi yang masih menyusu pada ibunya, terpaksa menghisap udara yang sudah terpolusi oleh asap rokok.
Dampak asap rokok bukan hanya untuk si perokok aktif (active smoker) saja. Ia pun punya dampak sangat serius bagi perokok pasif (passive smoker). Perlu diketahui, jika seseorang merokok, itu berarti dia hanya menghisap asap rokoknya sekitar 15% saja, sedangkan 85% lainnya akan dilepaskan dan akhirnya dihisap oleh para perokok pasif. Orang yang tidak merokok (passive smoker), tetapi terpapar asap rokok akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskan pada asap rokok oleh si perokok. Ini zalim, sangat tidak adil; tidak merokok, tetapi malah menghirup racun dua kali lipat. Pengaruh asap rokok pada perokok pasif adalah tiga kali lebih buruk daripada debu dan batu bara.
Begitu bahayanya, tidak heran jika menurut estimasi WHO, pada 2020 dampak tembakau di negara maju akan menurun drastis. Mereka paham betapa bahayanya rokok. Trend tersebut terlihat jelas. Pada 1996 mencapai 32%, namun pada 2001 menurun hanya 28%. Ironisnya, di negara-negara berkembang trend konsumsi tembakau malah mengalami kenaikan, yaitu 68% pada 1996, menjadi 72% pada 2001. Maka wajar, jika hampir 50% (sekitar 4,2 juta jiwa) kematian akibat tembakau pada 2020 terjadi di wilayah Asia, khususnya di negara berkembang, seperti Indonesia.
Kemiskinan ternyata bukan perkara politik an sich seperti yang riuh dibicarakan orang. Penyebabnya adalah perilaku boros sebagian besar masyarakat. Ada triliunan uang yang dibakar setiap hari secara sia-sia lewat kebiasaan merokok.
Ada argumentasi “gagah” menolak pelarangan rokok dengan mengaitkan industri rokok sebagai sumber devisa dan penyedia lapangan kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi belaka. Sebagai contoh, tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp 27 trilyun. Jika pemerintah mendapatkan Rp 27 trilyun, berapa sebenarnya biaya kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat? Menurut data riset di berbagai negara, biaya kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat sebesar 3 kali lipat dari cukai yang didapatkan. Jadi, kalau cukainya Rp. 27 trilyun maka biaya kesehatannya sebesar Rp 81 trilyun. Hitungan tersebut tetap membuat negara defisit alias merugi secara kolektif.
Di tataran pemerintah, problemnya lebih banyak pada kemauan (political will). Banyak komoditas unggulan pertanian yang bisa dikembangkan untuk mengganti ladang tembakau petani. Banyak sektor manufaktur yang bisa dikembangkan menggantikan industri rokok. Even olahraga tak akan mati, kalaupun tak ada iklan rokok. Sebagaimana liga sepakbola di Eropa tetap maju dan menarik ditonton, kendati mengharamkan iklan rokok.
Problem Moralitas
Telah menjadi fakta yang tidak diingkari oleh siapapun bahwa MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN, sebagaimana tertulis di setiap bungkus rokok. Karenanya, kontroversi seputar keharaman rokok lebih banyak kaitannya dengan masalah perilaku.
Para psikolog lazim menyebut hal ini sebagai disonansi kognitif. Nalar dan logika seseorang mengantarkannya mengetahui bahaya sesuatu, tetapi tarikan kenikmatan (godaan nafsu) mengalahkan akal sehatnya. Almarhum Bang Imad (Prof. Imaduddin Abdul Rahim), dalam Kuliah Tauhid-nya bahkan menyebut rokok sebagai ilah (tuhan) yang kejam. Sesuai logika, menurut Bang Imad, para perokok itu tidak bisa lain melainkan musyrik yang paling konyol. Agaknya rokok telah menjadi berhala, seperti kata Taufiq Ismail dalam puisi Tuhan Sembilan Senti. Bila ada ulama perokok secara otomatis tertolak ijtihadnya, karena perilakunya cacat, timbangan maslahat-mudharatnya telah kacau. Tak kurang Quraish Shihab juga menyebut perokok tak layak menjadi imam salat—kecuali faktor darurat.
Hari ini, mungkin masih banyak di antara kita meremehkan perkara rokok. Merasa rokok tidak menimbulkan efek buruk bagi tubuh, atau dianggap sepele karena banyak orang yang melakukannya.
Jika Anda merokok, bayangkan orang-orang terdekat yang Anda cintai. Isteri dan anak Anda otomatis juga menjadi perokok (pasif) yang menanggung dampak lebih besar dibanding Anda. Kalau mereka sakit, Andalah yang akan menanggung. Secara sistemik ternyata kita sengaja mengurangi potensi hidup (baca: mempercepat kematian) orang-orang yang kita cintai. Saya berharap kita dapat menghentikannya. Semata-mata, karena cinta. ***
”Haram, haram!” seraya merampas rokok.
Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok.
Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun dasar pemakruhannya sangat berbeda dengan dasar pengharamannya di masa sekarang ini.
Dahulu para ulama hanya memandang bahwa orang yang merokok itu mulutnya berbau kurang sedap, sehingga mengganggu orang lain dalam pergaulan. Hal yang kurang disukai ini kemudian dikatakan hukumnya makruh sesuai qiyas (analogi) dengan makan bawang. Mereka masih menggunakan literatur klasik, yang ditulis beberapa ratus tahun yang lalu, di mana pengetahuan manusia tentang bahaya nikotin dan zat-zat beracun di dalam sebatang rokok masih belum nyata terlihat. Belum ada fakta dan penelitian di kala itu tentang bahaya sebatang rokok.
Bila mereka membaca penelitian terbaru tentang 200-an racun yang berbahaya yang terdapat dalam sebatang rokok, pastilah mereka akan bergidik. Dan pastilah mereka akan setuju bahwa rokok itu memberikan mudharat yang sangat besar, bahkan teramat besar. Demikian menurut Ahmad Sarwat.
Efek Sistemik
Badan kesehatan dunia (WHO) menyebutkan bahwa di Amerika, sekitar 346 ribu orang meninggal tiap tahun dikarenakan rokok. Dan tidak kurang dari 90% dari 660 orang yang terkena penyakit kanker di salah satu rumah sakit Shanghai Cina disebabkan rokok.
Lebih dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan dampak buruk rokok. Dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 diantaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Berbagai zat berbahaya itu adalah tar, karbon monoksida (CO), dan nikotin.
Akibatnya, berbagai penyakit kanker pun mengintai, seperti: kanker paru-paru—90% kanker paru pada laki-laki disebabkan rokok, dan 70% untuk perempuan, kanker mulut, kanker bibir, asma, kanker leher rahim, jantung koroner, darah tinggi, stroke, kanker darah, kanker hati, bronchitis, kematian mendadak pada bayi, bahaya rusaknya kesuburan bagi wanita, dan impotensi bagi kaum pria. Prosentase kematian disebabkan rokok adalah lebih tinggi dibandingkan karena perang dan kecelakaan lalulintas.
Rokok mengakibatkan efek yang sangat kompleks. WHO memperkirakan hampir sekitar 700 juta anak atau sekitar setengah dari seluruh anak di dunia ini, termasuk bayi yang masih menyusu pada ibunya, terpaksa menghisap udara yang sudah terpolusi oleh asap rokok.
Dampak asap rokok bukan hanya untuk si perokok aktif (active smoker) saja. Ia pun punya dampak sangat serius bagi perokok pasif (passive smoker). Perlu diketahui, jika seseorang merokok, itu berarti dia hanya menghisap asap rokoknya sekitar 15% saja, sedangkan 85% lainnya akan dilepaskan dan akhirnya dihisap oleh para perokok pasif. Orang yang tidak merokok (passive smoker), tetapi terpapar asap rokok akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskan pada asap rokok oleh si perokok. Ini zalim, sangat tidak adil; tidak merokok, tetapi malah menghirup racun dua kali lipat. Pengaruh asap rokok pada perokok pasif adalah tiga kali lebih buruk daripada debu dan batu bara.
Begitu bahayanya, tidak heran jika menurut estimasi WHO, pada 2020 dampak tembakau di negara maju akan menurun drastis. Mereka paham betapa bahayanya rokok. Trend tersebut terlihat jelas. Pada 1996 mencapai 32%, namun pada 2001 menurun hanya 28%. Ironisnya, di negara-negara berkembang trend konsumsi tembakau malah mengalami kenaikan, yaitu 68% pada 1996, menjadi 72% pada 2001. Maka wajar, jika hampir 50% (sekitar 4,2 juta jiwa) kematian akibat tembakau pada 2020 terjadi di wilayah Asia, khususnya di negara berkembang, seperti Indonesia.
Kemiskinan ternyata bukan perkara politik an sich seperti yang riuh dibicarakan orang. Penyebabnya adalah perilaku boros sebagian besar masyarakat. Ada triliunan uang yang dibakar setiap hari secara sia-sia lewat kebiasaan merokok.
Ada argumentasi “gagah” menolak pelarangan rokok dengan mengaitkan industri rokok sebagai sumber devisa dan penyedia lapangan kerja. Namun, itu semua sebenarnya hanya ilusi belaka. Sebagai contoh, tahun 2004 cukai rokok sebesar Rp 27 trilyun. Jika pemerintah mendapatkan Rp 27 trilyun, berapa sebenarnya biaya kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat? Menurut data riset di berbagai negara, biaya kesehatan yang ditanggung oleh pemerintah dan masyarakat sebesar 3 kali lipat dari cukai yang didapatkan. Jadi, kalau cukainya Rp. 27 trilyun maka biaya kesehatannya sebesar Rp 81 trilyun. Hitungan tersebut tetap membuat negara defisit alias merugi secara kolektif.
Di tataran pemerintah, problemnya lebih banyak pada kemauan (political will). Banyak komoditas unggulan pertanian yang bisa dikembangkan untuk mengganti ladang tembakau petani. Banyak sektor manufaktur yang bisa dikembangkan menggantikan industri rokok. Even olahraga tak akan mati, kalaupun tak ada iklan rokok. Sebagaimana liga sepakbola di Eropa tetap maju dan menarik ditonton, kendati mengharamkan iklan rokok.
Problem Moralitas
Telah menjadi fakta yang tidak diingkari oleh siapapun bahwa MEROKOK DAPAT MENYEBABKAN SERANGAN JANTUNG, IMPOTENSI, DAN GANGGUAN KEHAMILAN DAN JANIN, sebagaimana tertulis di setiap bungkus rokok. Karenanya, kontroversi seputar keharaman rokok lebih banyak kaitannya dengan masalah perilaku.
Para psikolog lazim menyebut hal ini sebagai disonansi kognitif. Nalar dan logika seseorang mengantarkannya mengetahui bahaya sesuatu, tetapi tarikan kenikmatan (godaan nafsu) mengalahkan akal sehatnya. Almarhum Bang Imad (Prof. Imaduddin Abdul Rahim), dalam Kuliah Tauhid-nya bahkan menyebut rokok sebagai ilah (tuhan) yang kejam. Sesuai logika, menurut Bang Imad, para perokok itu tidak bisa lain melainkan musyrik yang paling konyol. Agaknya rokok telah menjadi berhala, seperti kata Taufiq Ismail dalam puisi Tuhan Sembilan Senti. Bila ada ulama perokok secara otomatis tertolak ijtihadnya, karena perilakunya cacat, timbangan maslahat-mudharatnya telah kacau. Tak kurang Quraish Shihab juga menyebut perokok tak layak menjadi imam salat—kecuali faktor darurat.
Hari ini, mungkin masih banyak di antara kita meremehkan perkara rokok. Merasa rokok tidak menimbulkan efek buruk bagi tubuh, atau dianggap sepele karena banyak orang yang melakukannya.
Jika Anda merokok, bayangkan orang-orang terdekat yang Anda cintai. Isteri dan anak Anda otomatis juga menjadi perokok (pasif) yang menanggung dampak lebih besar dibanding Anda. Kalau mereka sakit, Andalah yang akan menanggung. Secara sistemik ternyata kita sengaja mengurangi potensi hidup (baca: mempercepat kematian) orang-orang yang kita cintai. Saya berharap kita dapat menghentikannya. Semata-mata, karena cinta. ***
Komentar