Langsung ke konten utama

Yang Bersegera Bangkit dari Keterpurukan (Gaza Pascaperang)

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah,” kemudian mereka teguh pendirian (istiqamah), maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita.
(TQS Al Ahqaaf: 13)

Gadis cilik itu tampak sangat serius membaca buku pelajaran. Ia seperti tak terlalu peduli dengan kondisi sekitar. Memakai baju sederhana, dengan latar belakang gedung-gedung yang porak-poranda. Menandai redanya perang di Gaza, foto gadis cilik itu terpampang di halaman depan (headline) berbagai koran (Kamis, 22/1/2009). Aktivitas masyarakat telah kembali normal berjalan, hanya setengah pekan setelah Israel berhenti memborbardir Gaza.
Foto seringkali bisa mewakili banyak pesan, lebih dari yang tersampaikan dengan kata-kata. Dari Jalur Gaza Palestina, foto murid sekolah itu menyampaikan kepada kita pesan ketegaran, sekaligus kemenangan. Ya. Dua puluh dua hari perang tentu bukan waktu yang sebentar. Senjata canggih penjajah Israel telah meluluhlantakkan sebagian besar gedung di Gaza, dengan ribuan korban tewas. Tapi semua itu ternyata tak bisa mengalahkan semangat warga Gaza. Mereka tampak sangat tegar, sebagaimana sebelumnya mereka bisa mengatasi hari-hari pemboikotan dengan menggali terowongan di perbatasan Rafah.
Selasa (20/1), puluhan ribu warga Gaza turun ke jalan, memberi dukungan kepada pemerintah. Mereka telah menang secara moril dan materiil, saat Israel mengumumkan gencatan senjata secara sepihak. ”Mereka telah keluar perang dengan kepala tegak,” lansir The Observer, koran dengan tiras terbesar di Inggris.

Energi Iman
Serangan Israel ke Gaza telah menjadi berita duka bagi warga dunia. Tapi di sisi lain, dari Gaza, kita juga bisa belajar tentang cara menyikapi musibah. Perang, yang merenggut harta benda, orang-orang tercinta, luka cacat, serta berbagai kesulitan lain, ternyata tak membuat mereka terjerumus keputus-asaan. Mereka terpuruk secara ekonomi, tetapi mereka tetap tegar bahkan melawan secara ksatria orang-orang yang merampas tanah airnya. Tak terlihat nuansa chaos dalam sistem sosial warga Gaza. Tak kita dengar ada peristiwa bunuh diri atau perilaku kriminal warga, di tengah kesulitan yang mereka hadapi.
Dari Palestina, bumi para syuhada itu, kita melihat bukti bahwa keimanan telah menjadi energi luar biasa yang tak terkalahkan. ”Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (TQS Al Baqarah: 256).
Dari Gaza, kita bisa belajar banyak tentang cara menyikapi keterpurukan, dari keseharian yang kita alami. Kesulitan, dalam berbagai bentuknya, adalah warna hidup yang tak dapat kita hindari. Bahkan ia menjadi konsekuensi dari keimanan kita. ”Seorang mukmin akan tetap diberi cobaan, sampai ia berjalan di muka bumi ini tanpa dosa sedikitpun.” (HR Bukhari). “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. .” (TQS Al Baqarah: 155).
Setiap orang pasti akan merasakan susah. Menjadi mustahil jika seseorang membayangkan bahwa dirinya akan terlepas dari kesusahan dan cobaan. Kapan saja, kepada siapa saja, terduga ataupun tak terduga, kesulitan itu pasti akan terjadi.
Maka, perkaranya bukan pada kesusahan yang kita alami, tapi pada cara menyikapi musibah tersebut. Ujian dan cobaan itulah yang akan memperlihatkan kesejatian seseorang. Sebagaimana kata Ibnul Jauzi, “Orang yang ingin mendapatkan keselamatan dan kesejahteraan abadi tanpa ujian dan cobaan, berarti ia belum mengenal ajaran Islam dan tidak mengenal arti pasrah diri kepada Allah.”
Ujian kesulitan itu akan hadir menyapa kita dalam berbagai varian. Ada banyak di antara kita yang menyikapi dengan keputus-asaan. Yang paling fatal, rasa putus-asa itu sampai berujung pada kematian karena bunuh diri, sebagaimana kita temui nyaris tiap hari di koran lokal. Yang paling banyak kita dapati—atau bisa jadi kita sendiri lakukan--, rasa putus asa itu berwujud dengan tindakan yang tidak produktif. Malas bekerja, menunda aktivitas, atau berbagai tindakan ”pelarian” yang lain.
Begitulah, di tengah aktivitas menggalang bantuan kepedulian kita terhadap saudara kita di Palestina, kita mendapat pelajaran yang amat berharga dari mereka: tentang makna bersegera bangkit dari keterpurukan. Inilah energi kolektif yang tak akan terbendung, bahkan ketika saat ini Israel terus memblokade Gaza dengan berupaya menghancurkan terowongan rahasia di Rafah.
Maka, jika saat ini Anda terpuruk, cobalah Anda bandingkan dengan kesulitan yang dialami saudara Muslim kita di Palestina. Apa yang menjadi alasan Anda untuk tidak bersegera bangkit?

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai