”Sesungguhnya akan kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik...”
(TQS Al Maidah: 82).
Nablus, wilayah Tepi Barat Palestina. Seorang wanita hamil berjalan gontai kehabisan tenaga, bersandar pada bahu suaminya. Sang suami meminta izin melintasi pos perlintasan militer Israel. Keduanya terburu-buru ingin mencari tumpangan mobil agar dapat segera sampai di rumah sakit. Namun serdadu penjajah Israel menghadang, memaksa mereka kembali ke tempat asal, dari arah keduanya datang.
Suami istri itu, yang bernama Dawud (43) dan Rola Ashtiya (29), terus menunggu dalam perasaan cemas dan terkoyak. Panjang dan lama sekali menunggu. Sampai akhirnya, sang istri, benar-benar dalam kondisi mau melahirkan. Ia lantas bersandar di belakang gundukan batu di samping pos perlintasan. ”Saat itu saya sedang mencoba meyakinkan para serdadu Israel agar mengizinkan kami lewat. Saya tidak terlalu memperhatikan ke arah istriku. Tiba-tiba saya dengar teriakannya. Bergegas ke arahnya, tiba-tiba saya saksikan dia telah melahirkan janinnya,” kisah Dawud.
"Saat itu istri saya dalam kondisi sangat kritis, wajahnya sangat pucat, di tangannya seorang bayi merah berlumuran darah. Saat itu saya benar-benar gugup, tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Kemudian dia memberi isyarat agar saya memotong tali pusarnya. Tak kutemukan alat apapun untuk memotongnya kecuali batu. Akhirnya saya gunakan dua batu untuk memotong tali pusar bayiku.”
Bayi mungil itu lahir, perempuan. Tapi, kematian ternyata lebih cepat merengutnya dari derita luar biasa yang dialami sang ibu. Janin itu segera meninggal karena tidak mendapatkan pertolongan medis yang semestinya.
Kisah seperti ini bukan hanya terjadi sekali dua kali. Menurut laporan pihak Departemen Kesehatan Palestina, lebih dari 50 peristiwa sejenis telah menimpa para ibu Palestina dan janin-janin mereka dalam 3 tahun terakhir. Tidak sedikit ibu-ibu itu turut mati syahid, karena kehabisan darah.
Kisah menyayat hati seperti di atas adalah menu keseharian di Palestina, dalam bentuknya yang beragam. Blokade di perbatasan membuat kebutuhan warga Palestina amat sulit dipenuhi. Kekejaman tentara Israel itu berlangsung, dalam bentuk yang mungkin tak terbayangkan oleh kita sebelumnya.
***
Kita di Indonesia, pernah secara dekat merasakan kengerian bencana saat tsunami melanda Aceh, 2005. Banyak bangunan rata dengan tanah. Ribuan orang meninggal, menyebabkan banyak ibu-bapak kehilangan anak-anaknya, atau anak yang menjadi yatim piatu. Kita menyadari hal itu episode dari bencana alam yang tak kuasa kita elakkan, yang kemudian menimbulkan gelombang solidaritas.
Di Palestina kita menyaksikan kisah serupa. Banyak rumah rata dengan tanah. Ribuan anak terpaksa kehilangan ibu-bapaknya, atau cacat seumur hidup. Sekerat roti, makanan mereka sehari-hari, menjadi barang yang amat sulit didapat. Namun, ini bukan karena bencana alam. Ini adalah bencana kemanusiaan. Ini potret kekejaman yang nyata sampai saat ini. Ini perilaku keji yang telah dijalankan Israel selama lebih dari tiga generasi.
Palestina adalah ironi sejarah. Penjajahan ternyata masih berlangsung secara telanjang di abad milenium. Dunia internasional seperti tak punya daya. Upaya untuk menekan Israel selalu kandas dengan veto Amerika.
Kedekatan
Bumi Palestina awalnya di bawah pemerintahan Turki Utsmani semenjak abad ke-16 Masehi. Ia menjadi satu kota yang terbuka dan menjadi pusat ziarah kaum Muslimin dan juga para penganut agama Kristian yang menunaikan ziarah mereka ke kota suci Baitul Maqdis. Hubungan harmonis ini telah terwujud semenjak 16 H ketika Umar bin Khattab berkuasa, khalifah ketiga umat Islam. Pada abad ke-11 M, ketentraman itu sempat terganggu dengan kedatangan tentara Salib dari Eropah. Bukan hanya menjadi bencana umat Islam, penduduk Palestina yang beragama Kristen pun telah turut menjadi mangsa kekejaman tentara Salib. Situasi pulih kembali setelah Salahuddin al-Ayyubi berkuasa. Penduduk Baitul Maqdis terus hidup di dalam keadaan damai sampai abad ke-20 M.
Hubungan emosional kaum Muslimin di Palestina dengan Indonesia telah terjalin sejak keberadaan kerajaan Islam di Jawa. Para sejarawan meyakini nama daerah (dan Masjid) Kudus di Jawa, ada hubungan khusus dengan keberadaan Al Quds (Yerussalem) tempat berdiri masjid Al Aqsa.
Indonesia sebenarnya juga punya utang budi besar terhadap Palestina, saat memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. Mufti Palestina kala itu menjadi pemrakarsa penting yang mendorong agar negara-negara Arab mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat.
Kondisi itu berubah drastis pada 1948. Atas dukungan Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II, orang Yahudi yang tersebar di Eropa dan Amerika mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Sejak itulah bencana kemanusiaan bertubi-tubi terjadi. Penduduk Palestina diusir. Ratusan ribu orang terlunta-lunta di kamp-kamp pengungsian. Bukan sekadar bilangan bulan atau tahun mereka mengungsi, tapi telah sampai tiga generasi (kakek sampai cucu). Orang Yahudi yang dibenci warga Eropa karena congkak, pengamal riba dan lintah darah itu, menjadi penyebab suramnya masa depan generasi Palestina. Celaan Allah yang begitu banyak terhadap perilaku kaum Yahudi di dalam Al Qur’an, kita lihat bukti nyatanya di Palestina, saat ini.
***
Hari ini, ribuan ton bom Israel tercurah di Jalur Gaza. Masjid, gedung sekolah, dan fasilitas umum—tempat yang sebanarnya tak dibolehkan menjadi sasaran dalam Hukum Perang—hancur karena serangan misil Israel. Ratusan orang tewas, ribuan orang terluka, terisolasi dengan kondisi krisis makanan dan obat-obatan.
Para ksatria di Jalur Gaza saat ini telah melawan. Mereka tak mau tunduk pada penjajah. Walaupun pertempuran itu berjalan tak seimbang. Senapan otomatis dilawan dengan lemparan batu bocah-bocah Palestina. Pesawat tempur dan tank-tank baja dilawan dengan senjata adanya. Hanya Allah-lah sebaik-baik pemberi kemenangan. ”Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS Al Anfaal: 17).
Kita khawatir masih ada yang tidak peduli. Menganggap Palestina negeri yang jauh. Padahal, teknologi telah memungkinkannya mengetahui apa yang terjadi saat ini di belahan bumi yang lain. Padahal, hobinya menonton bola telah mengantarkannya untuk gandrung pada pemain bola yang berada jauh di Eropa. Lantas, apa yang menjadi penghalang untuk ambil peduli dengan penderitaan saudara-saudara di Palestina?
Aksi solidaritas untuk membantu Palestina itu telah mengalir dari Kanada sampai Jakarta. Dari Frankfurt (Jerman) sampai Durban (Afrika Selatan), ribuan orang turun ke jalan menentang kekejaman Israel. Bagi kita, lebih dari sekadar bencana kemanusiaan, ini adalah perang untuk menodai kehormatan Islam.
Kita khawatir masih ada yang tidak peduli. Kita khawatir tergolong dalam hadits masyhur dari Nabi. ”Barang siapa tidak peduli umatku, maka ia bukan termasuk golonganku.”***
(TQS Al Maidah: 82).
Nablus, wilayah Tepi Barat Palestina. Seorang wanita hamil berjalan gontai kehabisan tenaga, bersandar pada bahu suaminya. Sang suami meminta izin melintasi pos perlintasan militer Israel. Keduanya terburu-buru ingin mencari tumpangan mobil agar dapat segera sampai di rumah sakit. Namun serdadu penjajah Israel menghadang, memaksa mereka kembali ke tempat asal, dari arah keduanya datang.
Suami istri itu, yang bernama Dawud (43) dan Rola Ashtiya (29), terus menunggu dalam perasaan cemas dan terkoyak. Panjang dan lama sekali menunggu. Sampai akhirnya, sang istri, benar-benar dalam kondisi mau melahirkan. Ia lantas bersandar di belakang gundukan batu di samping pos perlintasan. ”Saat itu saya sedang mencoba meyakinkan para serdadu Israel agar mengizinkan kami lewat. Saya tidak terlalu memperhatikan ke arah istriku. Tiba-tiba saya dengar teriakannya. Bergegas ke arahnya, tiba-tiba saya saksikan dia telah melahirkan janinnya,” kisah Dawud.
"Saat itu istri saya dalam kondisi sangat kritis, wajahnya sangat pucat, di tangannya seorang bayi merah berlumuran darah. Saat itu saya benar-benar gugup, tidak tahu apa yang harus saya lakukan. Kemudian dia memberi isyarat agar saya memotong tali pusarnya. Tak kutemukan alat apapun untuk memotongnya kecuali batu. Akhirnya saya gunakan dua batu untuk memotong tali pusar bayiku.”
Bayi mungil itu lahir, perempuan. Tapi, kematian ternyata lebih cepat merengutnya dari derita luar biasa yang dialami sang ibu. Janin itu segera meninggal karena tidak mendapatkan pertolongan medis yang semestinya.
Kisah seperti ini bukan hanya terjadi sekali dua kali. Menurut laporan pihak Departemen Kesehatan Palestina, lebih dari 50 peristiwa sejenis telah menimpa para ibu Palestina dan janin-janin mereka dalam 3 tahun terakhir. Tidak sedikit ibu-ibu itu turut mati syahid, karena kehabisan darah.
Kisah menyayat hati seperti di atas adalah menu keseharian di Palestina, dalam bentuknya yang beragam. Blokade di perbatasan membuat kebutuhan warga Palestina amat sulit dipenuhi. Kekejaman tentara Israel itu berlangsung, dalam bentuk yang mungkin tak terbayangkan oleh kita sebelumnya.
***
Kita di Indonesia, pernah secara dekat merasakan kengerian bencana saat tsunami melanda Aceh, 2005. Banyak bangunan rata dengan tanah. Ribuan orang meninggal, menyebabkan banyak ibu-bapak kehilangan anak-anaknya, atau anak yang menjadi yatim piatu. Kita menyadari hal itu episode dari bencana alam yang tak kuasa kita elakkan, yang kemudian menimbulkan gelombang solidaritas.
Di Palestina kita menyaksikan kisah serupa. Banyak rumah rata dengan tanah. Ribuan anak terpaksa kehilangan ibu-bapaknya, atau cacat seumur hidup. Sekerat roti, makanan mereka sehari-hari, menjadi barang yang amat sulit didapat. Namun, ini bukan karena bencana alam. Ini adalah bencana kemanusiaan. Ini potret kekejaman yang nyata sampai saat ini. Ini perilaku keji yang telah dijalankan Israel selama lebih dari tiga generasi.
Palestina adalah ironi sejarah. Penjajahan ternyata masih berlangsung secara telanjang di abad milenium. Dunia internasional seperti tak punya daya. Upaya untuk menekan Israel selalu kandas dengan veto Amerika.
Kedekatan
Bumi Palestina awalnya di bawah pemerintahan Turki Utsmani semenjak abad ke-16 Masehi. Ia menjadi satu kota yang terbuka dan menjadi pusat ziarah kaum Muslimin dan juga para penganut agama Kristian yang menunaikan ziarah mereka ke kota suci Baitul Maqdis. Hubungan harmonis ini telah terwujud semenjak 16 H ketika Umar bin Khattab berkuasa, khalifah ketiga umat Islam. Pada abad ke-11 M, ketentraman itu sempat terganggu dengan kedatangan tentara Salib dari Eropah. Bukan hanya menjadi bencana umat Islam, penduduk Palestina yang beragama Kristen pun telah turut menjadi mangsa kekejaman tentara Salib. Situasi pulih kembali setelah Salahuddin al-Ayyubi berkuasa. Penduduk Baitul Maqdis terus hidup di dalam keadaan damai sampai abad ke-20 M.
Hubungan emosional kaum Muslimin di Palestina dengan Indonesia telah terjalin sejak keberadaan kerajaan Islam di Jawa. Para sejarawan meyakini nama daerah (dan Masjid) Kudus di Jawa, ada hubungan khusus dengan keberadaan Al Quds (Yerussalem) tempat berdiri masjid Al Aqsa.
Indonesia sebenarnya juga punya utang budi besar terhadap Palestina, saat memproklamasikan kemerdekaannya pada 1945. Mufti Palestina kala itu menjadi pemrakarsa penting yang mendorong agar negara-negara Arab mengakui Indonesia sebagai negara berdaulat.
Kondisi itu berubah drastis pada 1948. Atas dukungan Inggris sebagai pemenang Perang Dunia II, orang Yahudi yang tersebar di Eropa dan Amerika mendirikan negara Israel di bumi Palestina. Sejak itulah bencana kemanusiaan bertubi-tubi terjadi. Penduduk Palestina diusir. Ratusan ribu orang terlunta-lunta di kamp-kamp pengungsian. Bukan sekadar bilangan bulan atau tahun mereka mengungsi, tapi telah sampai tiga generasi (kakek sampai cucu). Orang Yahudi yang dibenci warga Eropa karena congkak, pengamal riba dan lintah darah itu, menjadi penyebab suramnya masa depan generasi Palestina. Celaan Allah yang begitu banyak terhadap perilaku kaum Yahudi di dalam Al Qur’an, kita lihat bukti nyatanya di Palestina, saat ini.
***
Hari ini, ribuan ton bom Israel tercurah di Jalur Gaza. Masjid, gedung sekolah, dan fasilitas umum—tempat yang sebanarnya tak dibolehkan menjadi sasaran dalam Hukum Perang—hancur karena serangan misil Israel. Ratusan orang tewas, ribuan orang terluka, terisolasi dengan kondisi krisis makanan dan obat-obatan.
Para ksatria di Jalur Gaza saat ini telah melawan. Mereka tak mau tunduk pada penjajah. Walaupun pertempuran itu berjalan tak seimbang. Senapan otomatis dilawan dengan lemparan batu bocah-bocah Palestina. Pesawat tempur dan tank-tank baja dilawan dengan senjata adanya. Hanya Allah-lah sebaik-baik pemberi kemenangan. ”Maka (yang sebenarnya) bukan kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (TQS Al Anfaal: 17).
Kita khawatir masih ada yang tidak peduli. Menganggap Palestina negeri yang jauh. Padahal, teknologi telah memungkinkannya mengetahui apa yang terjadi saat ini di belahan bumi yang lain. Padahal, hobinya menonton bola telah mengantarkannya untuk gandrung pada pemain bola yang berada jauh di Eropa. Lantas, apa yang menjadi penghalang untuk ambil peduli dengan penderitaan saudara-saudara di Palestina?
Aksi solidaritas untuk membantu Palestina itu telah mengalir dari Kanada sampai Jakarta. Dari Frankfurt (Jerman) sampai Durban (Afrika Selatan), ribuan orang turun ke jalan menentang kekejaman Israel. Bagi kita, lebih dari sekadar bencana kemanusiaan, ini adalah perang untuk menodai kehormatan Islam.
Kita khawatir masih ada yang tidak peduli. Kita khawatir tergolong dalam hadits masyhur dari Nabi. ”Barang siapa tidak peduli umatku, maka ia bukan termasuk golonganku.”***
Komentar