Langsung ke konten utama

Spirit ‘Kepala Kambing’ (Pelajaran Itsar)

"Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada orang lain (Muhajirin); dan mereka mengutamakan mereka (orang lain) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung"
(TQS Al Hasyr: 9).

Terlibat dalam kepanitiaan kurban pekan yang lalu, ingatan tentang kisah ini terasa segar kembali.
Salah seorang dari sahabat Nabi saw. diberi hadiah kepala kambing—pemberian yang cukup berharga kala itu. Namun, ia lalu berkata kepada keluarganya, "Sesungguhnya fulan dan keluarganya lebih membutuhkan ini daripada kita." Maka ia kirimkan hadiah tersebut kepada si fulan tetangganya.
Tetangganya ternyata punya pandangan yang sama dengan sahabat pertama. Ia berikan lagi kepada tetangga yang lain. Secara terus menerus hadiah itu di kirimkan dari satu orang kepada yang lain hingga berputar sampai tujuh rumah. akhirnya kembali kepada orang yang pertama kali memberikan. Al Baihaqi dalam kitab Asy Syu'ab, menuliskan kisah tersebut dari Ibnu Umar r.a..

***
Ada kerinduan kisah itu berulang terjadi. Semoga saja ini tidak berlebihan. Paling tidak berdasar fakta, banyak orang di sekitar kita yang mau merogoh kocek dalam-dalam, untuk membeli hewan kurban yang tak lagi murah. Seolah luntur semua ego dan individualisme. Semua seperti berlomba membahagiakan orang lain. Banyak warga bisa memakan daging, sumber protein hewani yang masih menjadi barang mahal bagi banyak orang.
Kita berharap kisah di muka berulang terjadi di zaman ini, dalam bentuk yang semakna. Hari-hari ke depan kita menghadapi tantangan berat penyakit individualisme. Sikap mementingkan diri sendiri, tak ambil peduli dengan kebutuhan orang di sekitar kita. Kita dihadapkan pada fakta kesenjangan. Ada sebagian orang yang berlimpah makanan, sampai berlebih lemak sehingga perlu menjalani diet ketat. Pada saat yang sama, ada orang yang kesulitan sekadar untuk memperoleh sepiring nasi dalam sehari.
Dahulu kita pernah dibayangi ketakutan dengan prediksi Malthus. Laju pertambahan manusia akan mengikuti deret ukur, sedang produksi pangan hanya mengikuti deret angka. Pendapat Malthus kemudian dijawab dengan berbagai teknologi budidaya. Hitungan para ahli saat ini, produksi pangan masih bisa mencukupi kebutuhan warga dunia. Masalah besarnya itu ada pada kesenjangan distribusi. Bagaimana kebijakan dibuat oleh pemerintah negeri kaya pangan ke negeri kurang pangan; atau bagaimana menghapus monopoli kepemilikan segelintir kelompok, menjadi hak warga secara luas. Ada sekelompok masyarakat yang rakus untuk memiliki sendiri, lantas mengabaikan yang lain. Problem sesungguhnya bukan pada ’miskin pangan,’ tetapi ancaman adanya ’miskin solidaritas.’ Bila kita simak lebih jauh, selain konflik ekstrim seperti peperangan, predikat negara miskin itu ternyata lebih banyak disebabkan oleh adanya kesenjangan sosial. Ada orang-orang kaya, tetapi mempunyai jurang perbedaan yang amat dalam dengan warga kebanyakan.
Solusi Krisis
Dunia saat ini menghadapi ancaman krisis keuangan yang parah. Bahkan banyak yang menyebut ini krisis terparah setelah Perang Dunia II. Bermula dari di Amerika, hal ini terus merembet ke seluruh dunia, dalam waktu yang tak jelas kapan usainya. Di Lampung, imbasnya sudah terasa dengan ambruknya Bank Tripanca. Bahkan dapur para petani di kampung tak luput dari dampak krisis. Para petani kakao, kopi, karet, dan sawit, banyak terpukul dengan jebloknya harga hasil kebun mereka.
Negeri ini belumlah pulih dari krisis sebelumnya. Perlu kesadaran semua kalangan untuk memberi andil penyelesaian. Agar tak muncul lagi krisis di atas krisis. Seperti munculnya kejahatan akibat kesulitan memenuhi kebutuhan hidup.
Negeri ini perlu energi lebih untuk setara dengan bangsa-bangsa maju yang lain. Karenanya, ini bukan sekadar kemampuan memberi bantuan. Tetapi kemampuan untuk mampu mendahulukan kepentingan dan kebutuhan orang lain daripada diri sendiri. Inilah perilaku itsar. Seperti kisah dimuka. Inilah tingkatan lanjutan dari sifat derma.
Itsar inilah yang menjadi etos perjuangan para sahabat. Seperti ketika hijrah, Rasulullah mempersaudarakan Abdur Rahman bin Auf dengan Sa'ad bin Rabi.' Sa'ad menawarkan kepada Abdur Rahman: ”Sesungguhnya aku adalah orang Anshar yang paling kaya, maka aku akan bagikan untukmu separuh hartaku, dan silakan kau pilih mana di antara dua istriku yang kau inginkan, maka akan aku lepaskan dia untuk engkau nikahi.”(HR Bukhari). Karena menjamu tamu, Abu Thalhah bersandiwara makan dengan mematikan lampu, karena hanya ada sepiring hidangan. Sang tamu makan, Abu Thalhah menemani dengan piring kosong.
Saat perang Yarmuk, dalam keadaan kritis, Ikrimah meminta air minum. Kemudian ia melihat Suhail sedang memandangnya. Maka ketika air akan diberikan kepadanya Ikrimah berkata, "Berikan dahulu air itu kepadanya." Dan ketika itu Suhail juga melihat Harits sedang melihatnya. Iapun berkata, "Berikan air itu kepadanya (Harits). Namun belum sampai air itu kepada Harits, ternyata ketiganya telah meninggal tanpa sempat merasakan air tersebut sedikitpun. Harits bin Hisyam, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Suhail bin Amr syahid dalam peristiwa tersebut. Ibnu Sa'ad menuliskan kisah ini dalam kitab ath Thabaqat.
Sejarah kemanusiaan kemudian mencatat perilaku sahabat tersebut. Merekalah generasi (yang awalnya) miskin yang lahir dari gurun tandus nan gersang tetapi kemudian berhasil memimpin peradaban selama belasan abad.
’Etos itsar’ relevan dengan fakta di dunia modern. Finlandia, negara dengan indeks kesejahteraan tertinggi dan pendapatan per-kapita terbesar di dunia, punya ciri yang khas. Sesama warga Finlandia tidak mempunyai perbedaan mencolok. Mereka relatif sama kekayaannya. ”Kekayaan mereka” adalah banyaknya fasilitas publik yang mereka bisa nikmati dengan nyaman secara bersama-sama. Naik kendaraan umum, menelpon, menyekolahkan anak, dan berbagai fasilitas dasar yang lain dapat mereka nikmati nyaris tanpa biaya. Kemampuan mendahulukan orang lain—yang salah satunya tercermin dari kesadaran untuk memelihara fasilitas publik—itu telah melahirkan kesejahteraan bagi semua warga. Menumpuk kekayaan pribadi menjadi tak penting.
Momen kurban pekan yang lalu selayaknya mengingatkan kita tentang hal ini. Kita, Umat Islam, punya modal yang luar biasa untuk maju dan sejahtera secara bersama-sama. Sejarah Islam telah membuktikannya. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai