Langsung ke konten utama

Idul Qurban: Pesan Persaudaraan dan Kesetaraan

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

(TQS Al Hujuraat: 13).

Ini jabat tangan bersejarah. Di Gedung Putih, George W. Bush menerima kunjungan calon presiden penggantinya, Barack Hussein Obama, presiden kulit hitam pertama sejak Amerika berdiri 3 abad yang lalu.

Entah bagaimana perasaan Bush saat itu. Obama sendiri punya kesan menyakitkan pada kunjungan pertamanya, empat tahun lalu. Setelah berjabat tangan, Bush langsung meminta pengawalnya memberikan tisu pembersih kuman. Obama menuliskan secara khusus peristiwa tersebut dalam memoarnya, The Audacity of Hope. “Kekuasaan bisa mendatangkan isolasi berbahaya bagi pemegangnya,” tulis Obama.

Barack Obama adalah fenomena. Rasanya ini tidak berlebihan untuk menyebutnya sebagai kemenangan nurani dan akal sehat, melampaui sentimen rasial yang kerap menjadi masalah warga Amerika—sejarah mencatat Amerika pernah mengalami perang saudara karena perbedaan kulit. Bagi kita di Indonesia juga ada jalinan emosional tersendiri. Obama pernah sekolah di Indonesia. Bahkan ada saudara tirinya yang tinggal di Bandar Lampung. Ada harapan besar akan ada hubungan kerjasama yang lebih baik antar negara.

Kesetaraan

Mengharapkan Obama bisa menjalankan kebijakan yang lebih baik terhadap umat Islam, mungkin terlalu dini. Bisa jadi ia harus realistis menghadapi kuatnya lobi Yahudi yang menguasai sentra-sentra keuangan Amerika. Paling tidak, saat ini, ada pelajaran dari peristiwa jabat tangan Bush-Obama. Ya. Ada orang-orang yang dulu kita anggap remeh. Bahkan kita rendahkan. Tapi saat ini ia telah berubah, mempunyai status sosial yang sejajar dengan kita. Bahkan ia lebih mulia dari kita. Malahan, bisa jadi, ia sekarang menjadi atasan kita.

Seringkali kita terjebak untuk menghargai seseorang karena hartanya, parasnya, atau ukuran lain yang bersifat materi. Tampilan pakaian seseorang yang sederhana, kita anggap ia miskin, lantas kita remehkan. Kulit hitam dan wajah yang jelek, kita jadikan ukuran bahwa ia warga jelata yang tak pantas diperlakukan istimewa. Tak ada tegur-sapa yang ramah. Tak dinyana, berikutnya kita tahu bahwa yang kita remehkan itu ternyata orang berada. Kita menjadi malu hati, penilaian kita salah.

Membeda-bedakan perlakuan berdasar perbedaan kekayaan atau warna kulit seringkali menjadi bencana dalam sejarah. Istilah kelas borjuasi (orang kaya) dan proletar (rakyat jelata, miskin) pernah menjadi jurang dalam, yang membuat sejarah Eropah diwarnai kerusuhan sosial yang nyaris tak berkesudahan. Anggapan kulit putih lebih mulia daripada kulit hitam telah melanggengkan perbudakan selama berabad-abad. Manusia diperjual-belikan laiknya barang dagang. Bahkan sosok Karl Marx yang menjadi inspirator negara komunis itu, menganggap orang Asia (=orang kulit berwarna) sebagai sub-man (sosok setengah manusia), yang menjadi pembenaran orang Eropa untuk menjajah. Afrika Selatan pernah menjalankan politik apartheid, hanya orang kulit putih yang bisa duduk di tampuk pemerintahan, tidak boleh orang kulit hitam.

Begitu pentingnya masalah ini, Allah secara khusus berfirman tentang masalah perbedaan ras, dalam QS Al Hujuraat: 13, yang dinukilkan di muka. Adanya bangsa-bangsa dan suku-suku adalah sunatullah, menjadi penciri agar kita saling kenal mengenal, tak lebih dari itu. Kemuliaan itu bukan ditentukan oleh warna kulit. Derajat kemuliaan itu karena ketakwaan kita.

Bila disebut nama Abu Bakar, Umar bin Khattab akan berkata: ”Abu Bakar adalah pemimpin kita, yang telah memerdekakan pemimpin kita.” Pemimpin yang dimerdekakan yang dimaksud Umar adalah Bilal bin Rabbah. Sebutan ”pemimpin kita” oleh Umar, menunjukkan betapa Bilal punya kehormatan khusus. Keimananlah yang membuat Bilal begitu mulia. Ia menjadi salah seorang sahabat yang dijamin masuk surga. Laki-laki yang berkulit hitam, kurus kerempeng, tinggi jangkung, berambut lebat dan bercambang tipis—sebagaimana dilukiskan dari beberapa ahli hadits—kerap menerima pujian dari para sahabat. Jika mendapat pujian tersebut, ia akan menundukkan kepala dan dengan air mata mengalir di pipinya ia berujar: ”Saya ini hanyalah orang Habsyi,...dan kemarin saya hanya seorang budak belian!”

Islam tak membolehkan kita mendasari penilaian atas perbedaan fisik. Bahkan menjuluki seseorang berdasar kekurangan fisik adalah perbuatan tercela. Juga kebiasaan bergunjing (gosip) membicarakan kekurangan orang lain. ”Janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (TQS Al Hujuraat: 11).

Keislaman kita selayaknya mengantarkan kita untuk mendasari penilaian bukan dari aspek fisik semata. Begitupula bagi yang mempunyai kekurangan fisik. Tidak ada alasan minder, sejauh Islam menjadi pedoman hidup. Islam-lah yang membuat laki-laki seperti Abdullah bin Mas’ud r.a. tidak pernah merasa kecil meskipun fisiknya begitu kecil dan kurus. Bahkan, pada peristiwa perang Badar, dia berani melompati Abu Jahal yang terjatuh, menginjak dadanya, memenggal kepalanya dan membawanya kepada Rasulullah sehingga beliau tersenyum bangga kepadanya. Islam-lah yang menjadikan budak hitam seperti Bilal bin Rabah tidak pernah canggung dan merasa terhina ketika berjalan bersama tokoh-tokoh Quraisy seperti Abu Bakar, Umar, Hamzah, dan para sahabat keturunan bangsawan lainnya.

Ritual Idul Adha

Seiring waktu, mungkin ada godaan menghinggap. Kita tak lagi memuliakan seseorang berdasar ketakwaan. Harta atau kekuasaan—sebagaimana kata Obama—telah mengisolasi kita pada cara pandang yang naif terhadap orang lain. Maka, kita harus kembali ”dipaksa” untuk kembali ke cara pandang yang benar. Hari Raya Idul ’Adha mengandung pesan relevan atas hal ini. Kita dianjurkan beribadah kurban untuk mengingat kembali makna persamaan dan persaudaraan. Jumhur ulama berpendapat hukum ibadah kurban adalah sunnah muakad, yaitu sunnah yang sangat dianjurkan. Imam Malik dan Syafii menyatakan makruf bagi yang mampu melakukannya tapi meninggalkannya. Bahkan madzhab Hanafi menyatakan wajib bagi yang mampu berdasar hadits, “Siapa yang memiliki kelapangan tapi tidak menyembelih kurban, janganlah mendekati tempat salat kami.” (HR Ahmad, Ibnu Majah dan Al-Hakim menshahihkannya).

Ritual haji juga mengandung pesan simbolik yang kuat tentang hakikat kemuliaan. Orang-orang kaya itu ”dipaksa” (baca: diwajibkan) berhaji, lantas memakai jenis baju yang sama dengan jutaan jamaah yang lain. Putih, tak bercorak, bahkan tak boleh berjahit. Inilah simbol persamaan derajat. Pesan itupun masih berulang ketika titel ”haji” kemungkinan akan diselewengkan. ”Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah dengan menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat.” (TQS Al Baqarah: 200).

Orang-orang Arab Jahiliyah mempunyai kebiasaan setelah menunaikan haji, lalu bermegah-megahan dengan membicarakan kebesaran nenek moyangnya. Analog dengan kondisi saat ini, kita patut mawas diri, ada orang yang berhaji membanggakan titel hajinya untuk memperoleh status sosial tertentu; bukan lebih banyak berzikir, mengasah kepedulian dan pemaknaan yang benar tentang hakikat kemuliaan manusia. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ramadhan: Saatnya Hijrah

“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (TQS Ar Ruum: 30). Ini kabar gembira dari istana Cankaya, Istambul, Turki. Selasa (28/8) Abdullah Gul dilantik menjadi presiden ke-11 Turki. Istimewanya, ia didampingi oleh isteri yang berjilbab. Hayrunnisa Gul adalah Ibu Negara Turki pertama yang memakai jilbab. “Jilbab hanya menutupi kepala, bukan otak saya,” tegas ibu yang dikenal cerdas, berpenampilan hangat, elegan, dan menghindari sorotan media massa ini (Republika, 29/8). Jilbab memang sempat menjadi alasan untuk menjegal pencalonan Abdullah Gul. Turki, negara sekuler (memisahkan agama dalam pemerintahan) yang dibentuk Kemal Ataturk ini secara resmi memang masih melarang jilbab dipakai di instansi pemerintah. Kaum sekuler menilai jilbab tak patut menghiasi Istana Cankaya yang diangga...

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Kapan Kita Berhenti Merokok? (Haramnya Rokok)

Dan janganlah kamu membinasakan diri kamu sendiri; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. ( TQS An Nisa’: 29 ) Hadir dalam acara syukuran haji tetangga, saya mendengar kisah menarik tentang ”razia” di Masjid Nabawi, Madinah. Di pintu masuk ke masjid, ada para penjaga yang mengawasi datangnya jamaah. Bila mendapati jamaah yang merokok, mereka menegur keras, ”Haram, haram!” seraya merampas rokok. Jauh hari sebelum fatwa MUI, ulama di Arab Saudi telah menetapkan haramnya rokok. Ketetapan tersebut ditindaklanjuti, salah satunya, dengan pelarangan di masjid. Jumhur ulama di berbagai negara di Timur Tengah, juga Malaysia dan Brunei Darussalam; telah memfatwakan keharaman rokok. Cepat atau lambat—kebetulan, Indonesia termasuk yang terlambat—rokok akan menjadi masalah yang menjadi perhatian penting para ulama. Menurut Ahmad Sarwat (pengelola rubrik konsultasi syariah situs eramuslim.com), awalnya memang belum ada ulama yang mengharamkan rokok, kecuali hanya memakruhkan. Namun das...