"Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
(TQS Al Anfal: 25)
Anda pernah membaca buku Serial Killers? Dihimpun oleh Joyce Robins dan Peter Arnold, ada seratus kisah kejahatan yang menggemparkan dunia beradab. Saya kutipkan kisahnya dari halaman-halaman awal buku tersebut.
Cesare Borgia, putera tidak resmi dari Paus Alexander VI membunuh siapa saja saja yang menghalangi kehendaknya, termasuk banyak pembantunya yang menyaksikan dia diperlakukan kurang baik di Istana Perancis. Vlad Tepes, penguasa Walachia, sebuah daerah yang sekarang termasuk Rumania, makan malam sambil menyaksikan orang-orang ditancapkan pada tombak runcing. Setiap kali orang itu bergerak, tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam tombak dan akhirnya mati. Terkadang ia minum darah yang mengucur dari tubuh korban. Ia mendapat gelar ”Dracul,” yang artinya setan.
Di sebelah barat Rumania, seorang puteri bangsawan, Countess Elizabeth Bathory, memburu anak gadis belia. Ia membawa mereka ke istananya. Pada tahun 1610, saudara sepupunya yang menjadi Perdana Menteri Hungaria berkunjung. Ia menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Gadis-gadis dirantai dalam kerangkeng. Banyak di antaranya sudah mati dan membusuk. Yang lainnya sekarat, dengan darah mengucur dari bagian tubuhnya yang dikerat dan dilubangi. Ada juga yang dikerat dagingnya, kemudian dihidangkan lagi kepadanya sebagai makanan. Konon, sang puteri memperindah kulitnya dengan mandi dalam darah para korbannya.
Dua abad kemudian, dua orang Irlandia, Burke dan Hare, membuat korbannya sesak napas. Dengan cara itu ia membunuh kawan-kawannya dalam satu rumah sewaan, atau tamu-tamunya yang diundangnya minum wiski. Tua dan muda, lelaki dan perempuan terkulai di tangan mereka. Karena bukan bangsawan, mereka membunuh untuk kepentingan bisnis. Mayat-mayat korban mereka jual dan dikirimkan kepada dr Knox untuk dikerat-kerat buat kepentingan kuliah kedokteran. Nama Burke diabadikan dalam kamus bahasa Inggris. ”To burke” artinya membunuh dengan jalan membuat korban kehabisan napas, sehingga korban tidak menunjukkan tanda-tanda dibunuh. Dalam bahasa Inggris modern, ”to burke” berarti mempeti-eskan kasus yang sedang diselidiki.
***
Saya merinding, mual, dan sebal kala membaca kisah horor tersebut. Untuk mereka, membunuh seolah seperti tujuan itu sendiri. Lamat-lamat dalam hati saya berharap, kisah tersebut menjadi kisah masa lalu yang tak akan berulang di masa sekarang.
Tapi pekan ini, harapan itu ternyata (kembali) pupus. Masyarakat digegerkan dengan pembunuhan kejam berantai. Very Idam Henyansyah alias Ryan (30 tahun) diketahui membunuh teman kencannya dengan cara dipotong (mutilasi) tujuh bagian. Ternyata, sebelumnya ia telah membunuh 11 orang yang dimasukkan ke septic tank atau dikubur di sekitar rumahnya. Ini hanya yang telah terbukti. Kemungkinan besar bisa lebih banyak lagi.
Terungkapnya kasus Ryan juga menyibak sisi gelap pergaulan masyarakat kita. Korban pembunuhan Ryan bermula dari teman kencan. Ada wanita yang telah bersuami, yang menjadi pacarnya di pusat kebugaran. Bahkan, yang terbanyak, adalah pasangan kencan Ryan sesama jenis (homoseks). Perbuatan terkutuk seperti yang dilakukan kaum Sodom, di zaman Nabi Luth. Komunitas gay ternyata bukan hanya ada di kota besar, tetapi telah merambah kota santri seperti Jombang.
Kasus Ryan juga menjadi cermin buruk tentang hubungan bertetangga. Bahkan untuk ukuran kampung, seperti di desa Jatiwates, Tembelang, Jombang, Jawa Timur. Belasan orang bertamu lalu menjadi korban pembunuhan, tapi tak ada tetangga yang mengetahui. Tak ada orang yang curiga (baca: ambil peduli). Aturan 1 x 24 jam tamu harus lapor, seperti yang kerap kita temui di papan pengumuman di ketua RT/Lingkungan, agaknya hanya menjadi pajangan. Andaikata ada tetangga yang peduli dan melapor, tentu korban bisa dikurangi. Tak perlu sampai ke Jakarta.
Kepedulian
Menghukum Ryan seberat-beratnya tampak sudah semestinya. Agar tak ada lagi orang yang menirunya. Tetapi adakah jaminan kejahatan tersebut tak berulang? Atau setidaknya, tak ada kejahatan sejenis yang dilakukan oleh banyak orang?
Saya sendiri tak yakin. Apalagi jika tak ada upaya untuk mencegahnya.
Perilaku jahat itu bukan muncul dari ruang kosong. Ada sebab yang mengiringinya. Seperti Ryan, ia kala kecil kerap mendapat siksaan dari orang tuanya. ”Bakat jahat” yang bertemu dengan kepintarannya—ia juara kelas, sekolah di SMAN favorit di Jombang—membuatnya tumbuh liar di lingkungan yang mendukung.
Beberapa bulan yang lalu, saya mengajak anak didik saya di TPA (usia 11 – 15 tahun) ke warnet. Harapan saya, mereka bisa memanfaatkan perpustakaan raksasa digital itu untuk menambah ilmu. Saya meng-angankan mereka bisa belajar agama, dari situs-situs Islam terkemuka. Sampai kemudian di sesi praktek, dari mesin pencari, apa yang mereka ketik? Mereka ternyata serempak mencari ”Naruto.” Belakangan saya tahu, itu adalah film kartun yang mengumbar kekerasan, dari awal sampai akhir.
Bila kita selidik lebih jauh, ternyata (hampir) semua mainan anak mengumbar kekerasan. Yang digandrungi anak-anak dari game online juga perkelahian dan peperangan. Fantasi dan imajinasi kekerasan menjadi santapan mereka sehari-hari. Maka, kalaupun Anda (sebagai orang tua) bergidik menyimak kisah Ryan, belum tentu anak Anda. Bisa jadi, mereka malah mempunyai fantasi yang lebih mengerikan.
”Manusia itu anak lingkungannya.” Kepintaran dan menurutnya anak di rumah bukan jaminan. Seperti kisah sebuah keluarga di Jakarta. Keluarganya terlihat harmonis. Tetapi berikutnya, tanpa disadari awalnya oleh orang tua, seluruh anaknya kecanduan narkoba. Dua anaknya meninggal, satu orang menjalani rehabilitasi yang mahal.
Perilaku jahat itu bukan muncul dari ruang kosong. Ada permulaan, yang berbilang tahun, beranjak dewasa, menjadi karakter seseorang. Tanpa ada upaya mencegah, kejahatan menjadi laten. Secara perlahan-lahan, anak-anak kita bisa menjadi ”Dracula”. Tanpa kita sadari kitalah sesungguhnya Sang Pembunuh. Membunuh masa depan anak-anak, dengan ketidakpedulian, masa bodoh terhadap pendidikan moral mereka. Awasilah mereka, jangan biarkan hari-harinya mengakrabi kekerasan dengan tontonan dan permainan dari layar kaca.
Sudah banyak kisah kejahatan anak dikabarkan di media massa. Na’udzubillah, kita berlindung kepada Allah hal tersebut tidak menimpa anak-anak atau saudara kita.
Surah Al Anfal ayat 25 di muka, cukuplah jadi peringatan. Azab itu Allah turunkan bukan hanya kepada pelaku kejahatan dan kezaliman. Tapi kepada semua orang yang tak mau ambil peduli urusan di lingkungan sekitarnya. Kasus Ryan adalah cermin, betapa rapuhnya sendi-sendi moral masyarakat negeri ini. Akankah azab terhadap kaum Nabi Luth akan berulang? ***
(TQS Al Anfal: 25)
Anda pernah membaca buku Serial Killers? Dihimpun oleh Joyce Robins dan Peter Arnold, ada seratus kisah kejahatan yang menggemparkan dunia beradab. Saya kutipkan kisahnya dari halaman-halaman awal buku tersebut.
Cesare Borgia, putera tidak resmi dari Paus Alexander VI membunuh siapa saja saja yang menghalangi kehendaknya, termasuk banyak pembantunya yang menyaksikan dia diperlakukan kurang baik di Istana Perancis. Vlad Tepes, penguasa Walachia, sebuah daerah yang sekarang termasuk Rumania, makan malam sambil menyaksikan orang-orang ditancapkan pada tombak runcing. Setiap kali orang itu bergerak, tubuhnya perlahan-lahan masuk ke dalam tombak dan akhirnya mati. Terkadang ia minum darah yang mengucur dari tubuh korban. Ia mendapat gelar ”Dracul,” yang artinya setan.
Di sebelah barat Rumania, seorang puteri bangsawan, Countess Elizabeth Bathory, memburu anak gadis belia. Ia membawa mereka ke istananya. Pada tahun 1610, saudara sepupunya yang menjadi Perdana Menteri Hungaria berkunjung. Ia menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Gadis-gadis dirantai dalam kerangkeng. Banyak di antaranya sudah mati dan membusuk. Yang lainnya sekarat, dengan darah mengucur dari bagian tubuhnya yang dikerat dan dilubangi. Ada juga yang dikerat dagingnya, kemudian dihidangkan lagi kepadanya sebagai makanan. Konon, sang puteri memperindah kulitnya dengan mandi dalam darah para korbannya.
Dua abad kemudian, dua orang Irlandia, Burke dan Hare, membuat korbannya sesak napas. Dengan cara itu ia membunuh kawan-kawannya dalam satu rumah sewaan, atau tamu-tamunya yang diundangnya minum wiski. Tua dan muda, lelaki dan perempuan terkulai di tangan mereka. Karena bukan bangsawan, mereka membunuh untuk kepentingan bisnis. Mayat-mayat korban mereka jual dan dikirimkan kepada dr Knox untuk dikerat-kerat buat kepentingan kuliah kedokteran. Nama Burke diabadikan dalam kamus bahasa Inggris. ”To burke” artinya membunuh dengan jalan membuat korban kehabisan napas, sehingga korban tidak menunjukkan tanda-tanda dibunuh. Dalam bahasa Inggris modern, ”to burke” berarti mempeti-eskan kasus yang sedang diselidiki.
***
Saya merinding, mual, dan sebal kala membaca kisah horor tersebut. Untuk mereka, membunuh seolah seperti tujuan itu sendiri. Lamat-lamat dalam hati saya berharap, kisah tersebut menjadi kisah masa lalu yang tak akan berulang di masa sekarang.
Tapi pekan ini, harapan itu ternyata (kembali) pupus. Masyarakat digegerkan dengan pembunuhan kejam berantai. Very Idam Henyansyah alias Ryan (30 tahun) diketahui membunuh teman kencannya dengan cara dipotong (mutilasi) tujuh bagian. Ternyata, sebelumnya ia telah membunuh 11 orang yang dimasukkan ke septic tank atau dikubur di sekitar rumahnya. Ini hanya yang telah terbukti. Kemungkinan besar bisa lebih banyak lagi.
Terungkapnya kasus Ryan juga menyibak sisi gelap pergaulan masyarakat kita. Korban pembunuhan Ryan bermula dari teman kencan. Ada wanita yang telah bersuami, yang menjadi pacarnya di pusat kebugaran. Bahkan, yang terbanyak, adalah pasangan kencan Ryan sesama jenis (homoseks). Perbuatan terkutuk seperti yang dilakukan kaum Sodom, di zaman Nabi Luth. Komunitas gay ternyata bukan hanya ada di kota besar, tetapi telah merambah kota santri seperti Jombang.
Kasus Ryan juga menjadi cermin buruk tentang hubungan bertetangga. Bahkan untuk ukuran kampung, seperti di desa Jatiwates, Tembelang, Jombang, Jawa Timur. Belasan orang bertamu lalu menjadi korban pembunuhan, tapi tak ada tetangga yang mengetahui. Tak ada orang yang curiga (baca: ambil peduli). Aturan 1 x 24 jam tamu harus lapor, seperti yang kerap kita temui di papan pengumuman di ketua RT/Lingkungan, agaknya hanya menjadi pajangan. Andaikata ada tetangga yang peduli dan melapor, tentu korban bisa dikurangi. Tak perlu sampai ke Jakarta.
Kepedulian
Menghukum Ryan seberat-beratnya tampak sudah semestinya. Agar tak ada lagi orang yang menirunya. Tetapi adakah jaminan kejahatan tersebut tak berulang? Atau setidaknya, tak ada kejahatan sejenis yang dilakukan oleh banyak orang?
Saya sendiri tak yakin. Apalagi jika tak ada upaya untuk mencegahnya.
Perilaku jahat itu bukan muncul dari ruang kosong. Ada sebab yang mengiringinya. Seperti Ryan, ia kala kecil kerap mendapat siksaan dari orang tuanya. ”Bakat jahat” yang bertemu dengan kepintarannya—ia juara kelas, sekolah di SMAN favorit di Jombang—membuatnya tumbuh liar di lingkungan yang mendukung.
Beberapa bulan yang lalu, saya mengajak anak didik saya di TPA (usia 11 – 15 tahun) ke warnet. Harapan saya, mereka bisa memanfaatkan perpustakaan raksasa digital itu untuk menambah ilmu. Saya meng-angankan mereka bisa belajar agama, dari situs-situs Islam terkemuka. Sampai kemudian di sesi praktek, dari mesin pencari, apa yang mereka ketik? Mereka ternyata serempak mencari ”Naruto.” Belakangan saya tahu, itu adalah film kartun yang mengumbar kekerasan, dari awal sampai akhir.
Bila kita selidik lebih jauh, ternyata (hampir) semua mainan anak mengumbar kekerasan. Yang digandrungi anak-anak dari game online juga perkelahian dan peperangan. Fantasi dan imajinasi kekerasan menjadi santapan mereka sehari-hari. Maka, kalaupun Anda (sebagai orang tua) bergidik menyimak kisah Ryan, belum tentu anak Anda. Bisa jadi, mereka malah mempunyai fantasi yang lebih mengerikan.
”Manusia itu anak lingkungannya.” Kepintaran dan menurutnya anak di rumah bukan jaminan. Seperti kisah sebuah keluarga di Jakarta. Keluarganya terlihat harmonis. Tetapi berikutnya, tanpa disadari awalnya oleh orang tua, seluruh anaknya kecanduan narkoba. Dua anaknya meninggal, satu orang menjalani rehabilitasi yang mahal.
Perilaku jahat itu bukan muncul dari ruang kosong. Ada permulaan, yang berbilang tahun, beranjak dewasa, menjadi karakter seseorang. Tanpa ada upaya mencegah, kejahatan menjadi laten. Secara perlahan-lahan, anak-anak kita bisa menjadi ”Dracula”. Tanpa kita sadari kitalah sesungguhnya Sang Pembunuh. Membunuh masa depan anak-anak, dengan ketidakpedulian, masa bodoh terhadap pendidikan moral mereka. Awasilah mereka, jangan biarkan hari-harinya mengakrabi kekerasan dengan tontonan dan permainan dari layar kaca.
Sudah banyak kisah kejahatan anak dikabarkan di media massa. Na’udzubillah, kita berlindung kepada Allah hal tersebut tidak menimpa anak-anak atau saudara kita.
Surah Al Anfal ayat 25 di muka, cukuplah jadi peringatan. Azab itu Allah turunkan bukan hanya kepada pelaku kejahatan dan kezaliman. Tapi kepada semua orang yang tak mau ambil peduli urusan di lingkungan sekitarnya. Kasus Ryan adalah cermin, betapa rapuhnya sendi-sendi moral masyarakat negeri ini. Akankah azab terhadap kaum Nabi Luth akan berulang? ***
Komentar