Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.
(QS Ali Imraan: 110)
Suatu hari Muhammad saw. berdiri tegak di atas bukit Shafa sembari berteriak: "Ya shabaahah!” (seruan untuk menarik perhatian orang agar berkumpul di waktu pagi). Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy.
“Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.”
“Maukah kamu aku tunjukkan sebuah kalimat, yang dengannya kamu akan menguasai dunia dan menyelamatkanmu terhadap azab yang pedih”
“Kalimat apakah itu,” tanya mereka balik.
”Aku tidak dapat memberi keuntungan apapun pada kalian baik di dunia maupun akhirat kecuali kamu mengikrarkan syahadah, 'La ilaha illallah' (tiada tuhan selain Allah).”
Seorang berpostur gemuk yang juga paman Muhammad, Abu Lahab menukas. "Celakalah engkau Muhammad. Buat apa kau kumpulkan kami." Ajakan itu berujung cemoohan. Sebagian besar pemuka Qurays kala itu mengabaikan seruan dari Si Jujur, Muhammad saw.
Namun, berbilang tahun, sejarah membuktikan kebenaran Muhammad. Kalimat syahadah tersebut menjadi identitas kelompok yang amat disegani di seluruh penjuru Arab. Tak lama sepeninggal Muhammad saw., kisra Persia berhasil dikuasai. Rumawi tak lama menyusul takluk. Pengikut Muhammad berkembang pesat ke seantero jagat. Michael H Hart menempatkan Muhammad pada rangking pertama dari 100 tokoh terkemuka sepanjang masa. “Dia datang laksana sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir mesiu yang membakar angkasa Delhi ke Granada,” ujar Thomas Carlyle dalam On Heros and Hero Worship.
Ironi Kebangkitan Nasional
Belum lama kita peringati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Moment itu seperti terlewat begitu saja. Ia seperti kalah pamor dengan bertambahnya beban hidup sebagian besar warga akibat kenaikan BBM. Problem kemiskinan seperti tak memberi tempat bagi kita untuk berbicara sebagai bangsa bermartabat. Tahukah Anda, sebutan ‘Indon‘ (= orang Indonesia) di Malaysia berkonotasi ‘kuli.’ Mengingati Indonesia, dalam benak warga Malaysia, identik dengan pembantu rumah tangga serta pekerja kasar yang lain. Maklum, kita memang pemasok utama tenaga kerja tersebut ke negeri jiran itu.
Begitulah. Seratus tahun Kebangkitan Nasional agaknya masih menyimpan ironi. Banyak masalah sosial yang tak terkendalikan. Semuanya seolah hanya mengikuti kaídah pasar (baca: hukum rimba). Yang kuat itulah yang menang. Yang kaya yang makin berjaya. Di Indonesia—asalnya dari Lampung—ada orang kaya se-Asia Tenggara. Tapi yang memilukan, Indonesia termasuk di dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007). Parameternya antara lain adalah kemiskinan merajalela, ekonomi merosot, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif. Negara paling gagal adalah Sudan, Iraq, Somalia, dan Zimbabwe. Bayangkan, Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor Timur, Myanmar, Kongo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda.
Fakta memilukan di atas tak boleh merenggut optimisme kita. Harus selalu ada harapan bahwa ada masa depan yang lebih baik. Harus senantiasa ada rasa percaya diri yang dibangun. Mahalnya barang kebutuhan sehari-hari tak boleh berarti mahalnya keberanian kita untuk berharap (audacity of hope). Kita harus berani bangkit, sebagaimana Rasulullah contohkan: mengubah orang-orang miskin dari gurun tandus sebagai penguasa dunia.
Resep Kebangkitan
Surah Al Imraan: 110 mengajarkan kita untuk percaya diri. Allah tegaskan bahwa kitalah umat Islam sebagai kelompok terbaik. Tapi kebaikan itu bukan tanpa syarat. Predikat unggul itu bukan bawaan lahir. Bukan seperti orang Yahudi, yang menganggap mereka lahir sebagai bangsa terpilih, lantas seenaknya menistakan kaum yang lain. Bukan seperti Jerman pada masa Hitler, yang meyakini bangsa Aria sebagai ras istimewa, lantas mengobarkan perang dan membunuh jutaan orang dari ras lain. Bukan pula seperti orang kulit putih, yang dulu menganggap orang kulit berwarna sebagai sub-man (setengah manusia), kemudian merasa sah menjajah sampai ratusan tahun.
Dalam Islam, predikat masyarakat terbaik itu baru akan didapat bila syaratnya dipenuhi. Syarat ini langsung melekat dalam surah Al Imraan: 110. Yaitu, menyeru/kampanye kebaikan; menghalau kemungkaran melalui penegakan hukum (nahi mungkar); serta beriman kepada Allah dengan sebenarnya(tu’minu-nabillah). Kita ingin mengulasnya sebagai resep menuju Indonesia yang lebih baik.
[1]Kampanye kebaikan (amar ma’ruf). Bangsa kita miskin teladan. Banyak orang yang berkata tentang kebaikan tetapi dirinya sendiri belum mengamalkan sepenuhnya. Amal kebaikan ini harus menjadi spirit untuk menjalin harmoni bermasyarakat. Indonesia tidak punya sejarah kelam tentang perbedaan pendapat yang berujung kepada perpecahan akut. Masyarakat relatif rukun, guyub. Budaya saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan harus terus ditingkatkan.
[2]Penegakan hukum (nahi mungkar). Sudah lama Gunnar Myrdal (1987) menilai negara kita sebagai "soft state" (negara lunak), yaitu negara yang pemerintahnya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Menurut ahli ekonomi Swedia pemenang hadiah Nobel itu, "lunak" berasosiasi pada tidak adanya disiplin sosial di masyarakat. Kita umumnya mengidap kelembekan (leinency), sikap serba memudahkan (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan.
Hilangnya ketegasan, hukum yang pilih kasih, adalah pangkal kebinasaan. Hukum harus berpihak pada yang lemah. Orang kaya perlu “dipaksa” membagi hartanya pada dhuafa. Di zaman Nabi, ada wanita ninggrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Qurays enggan menetapkan hukuman. Rasulullah mengecam. “Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya." (Muttafaq Alaih)
Cina bisa juga menjadi contoh lain tentang penegakan hukum. Zhu, Perdana Menteri Cina itu telah menghukum mati ratusan pelaku korupsi. Hasilnya, angka kriminalitas rendah, ekonomi di Cina maju sangat pesat.
[3] Meneguhkan ketaaatan kepada Allah (tu’minu-nabillah). Mewujudkan masyarakat sejahtera terdiri dari banyak variabel. Ada juga hal yang tidak bisa dijangkau akal (irasional). Ada kuasa Maha Pencipta di sini. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.. ” (TQS Al A’raaf: 96).
Demikianlah, Islam memberi resep bagaimana mewujudkan masyarakat unggulan. Jika masa seratus tahun Kebangkitan Nasional negara ini masih bersua kegagalan, mengapa resep Islam tidak dicoba sepenuhnya? Tak sampai 100 tahun, hanya 22 tahun (masa dakwah Rasulullah) bisa mengubah derajat sebuah bangsa hina di Arabia, menjadi disegani di kancah dunia. ***
(QS Ali Imraan: 110)
Suatu hari Muhammad saw. berdiri tegak di atas bukit Shafa sembari berteriak: "Ya shabaahah!” (seruan untuk menarik perhatian orang agar berkumpul di waktu pagi). Lalu berkumpullah suku-suku Quraisy.
“Bagaimana menurut pendapat kalian kalau aku beritahukan kepada kalian bahwa ada segerombolan pasukan kuda di lembah sana yang ingin menyerang kalian, apakah kalian akan mempercayaiku?”
Mereka menjawab: “Ya, kami tidak pernah tahu dari dirimu selain kejujuran.”
“Maukah kamu aku tunjukkan sebuah kalimat, yang dengannya kamu akan menguasai dunia dan menyelamatkanmu terhadap azab yang pedih”
“Kalimat apakah itu,” tanya mereka balik.
”Aku tidak dapat memberi keuntungan apapun pada kalian baik di dunia maupun akhirat kecuali kamu mengikrarkan syahadah, 'La ilaha illallah' (tiada tuhan selain Allah).”
Seorang berpostur gemuk yang juga paman Muhammad, Abu Lahab menukas. "Celakalah engkau Muhammad. Buat apa kau kumpulkan kami." Ajakan itu berujung cemoohan. Sebagian besar pemuka Qurays kala itu mengabaikan seruan dari Si Jujur, Muhammad saw.
Namun, berbilang tahun, sejarah membuktikan kebenaran Muhammad. Kalimat syahadah tersebut menjadi identitas kelompok yang amat disegani di seluruh penjuru Arab. Tak lama sepeninggal Muhammad saw., kisra Persia berhasil dikuasai. Rumawi tak lama menyusul takluk. Pengikut Muhammad berkembang pesat ke seantero jagat. Michael H Hart menempatkan Muhammad pada rangking pertama dari 100 tokoh terkemuka sepanjang masa. “Dia datang laksana sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-butir mesiu yang membakar angkasa Delhi ke Granada,” ujar Thomas Carlyle dalam On Heros and Hero Worship.
Ironi Kebangkitan Nasional
Belum lama kita peringati 100 tahun Kebangkitan Nasional. Moment itu seperti terlewat begitu saja. Ia seperti kalah pamor dengan bertambahnya beban hidup sebagian besar warga akibat kenaikan BBM. Problem kemiskinan seperti tak memberi tempat bagi kita untuk berbicara sebagai bangsa bermartabat. Tahukah Anda, sebutan ‘Indon‘ (= orang Indonesia) di Malaysia berkonotasi ‘kuli.’ Mengingati Indonesia, dalam benak warga Malaysia, identik dengan pembantu rumah tangga serta pekerja kasar yang lain. Maklum, kita memang pemasok utama tenaga kerja tersebut ke negeri jiran itu.
Begitulah. Seratus tahun Kebangkitan Nasional agaknya masih menyimpan ironi. Banyak masalah sosial yang tak terkendalikan. Semuanya seolah hanya mengikuti kaídah pasar (baca: hukum rimba). Yang kuat itulah yang menang. Yang kaya yang makin berjaya. Di Indonesia—asalnya dari Lampung—ada orang kaya se-Asia Tenggara. Tapi yang memilukan, Indonesia termasuk di dalam indeks 60 negara gagal tahun 2007 (failed state index 2007). Parameternya antara lain adalah kemiskinan merajalela, ekonomi merosot, pelayanan umum jelek, korupsi dan kriminalitas menyebar, pemerintah pusat sangat lemah dan tak efektif. Negara paling gagal adalah Sudan, Iraq, Somalia, dan Zimbabwe. Bayangkan, Indonesia masuk satu jajaran dengan negeri itu, bersama sejumlah negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin, semacam Timor Timur, Myanmar, Kongo, Haiti, Ethiopia, dan Uganda.
Fakta memilukan di atas tak boleh merenggut optimisme kita. Harus selalu ada harapan bahwa ada masa depan yang lebih baik. Harus senantiasa ada rasa percaya diri yang dibangun. Mahalnya barang kebutuhan sehari-hari tak boleh berarti mahalnya keberanian kita untuk berharap (audacity of hope). Kita harus berani bangkit, sebagaimana Rasulullah contohkan: mengubah orang-orang miskin dari gurun tandus sebagai penguasa dunia.
Resep Kebangkitan
Surah Al Imraan: 110 mengajarkan kita untuk percaya diri. Allah tegaskan bahwa kitalah umat Islam sebagai kelompok terbaik. Tapi kebaikan itu bukan tanpa syarat. Predikat unggul itu bukan bawaan lahir. Bukan seperti orang Yahudi, yang menganggap mereka lahir sebagai bangsa terpilih, lantas seenaknya menistakan kaum yang lain. Bukan seperti Jerman pada masa Hitler, yang meyakini bangsa Aria sebagai ras istimewa, lantas mengobarkan perang dan membunuh jutaan orang dari ras lain. Bukan pula seperti orang kulit putih, yang dulu menganggap orang kulit berwarna sebagai sub-man (setengah manusia), kemudian merasa sah menjajah sampai ratusan tahun.
Dalam Islam, predikat masyarakat terbaik itu baru akan didapat bila syaratnya dipenuhi. Syarat ini langsung melekat dalam surah Al Imraan: 110. Yaitu, menyeru/kampanye kebaikan; menghalau kemungkaran melalui penegakan hukum (nahi mungkar); serta beriman kepada Allah dengan sebenarnya(tu’minu-nabillah). Kita ingin mengulasnya sebagai resep menuju Indonesia yang lebih baik.
[1]Kampanye kebaikan (amar ma’ruf). Bangsa kita miskin teladan. Banyak orang yang berkata tentang kebaikan tetapi dirinya sendiri belum mengamalkan sepenuhnya. Amal kebaikan ini harus menjadi spirit untuk menjalin harmoni bermasyarakat. Indonesia tidak punya sejarah kelam tentang perbedaan pendapat yang berujung kepada perpecahan akut. Masyarakat relatif rukun, guyub. Budaya saling ingat-mengingatkan dalam kebaikan harus terus ditingkatkan.
[2]Penegakan hukum (nahi mungkar). Sudah lama Gunnar Myrdal (1987) menilai negara kita sebagai "soft state" (negara lunak), yaitu negara yang pemerintahnya tidak memiliki ketegaran moral yang jelas, khususnya moral sosial-politik. Menurut ahli ekonomi Swedia pemenang hadiah Nobel itu, "lunak" berasosiasi pada tidak adanya disiplin sosial di masyarakat. Kita umumnya mengidap kelembekan (leinency), sikap serba memudahkan (easy going), sehingga tidak memiliki kepekaan cukup terhadap masalah penyelewengan dan kejahatan.
Hilangnya ketegasan, hukum yang pilih kasih, adalah pangkal kebinasaan. Hukum harus berpihak pada yang lemah. Orang kaya perlu “dipaksa” membagi hartanya pada dhuafa. Di zaman Nabi, ada wanita ninggrat dari bani Makhzum mencuri sehingga orang Qurays enggan menetapkan hukuman. Rasulullah mengecam. “Orang-orang sebelummu binasa adalah karena jika ada seseorang yang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membebaskannya, dan jika ada orang lemah di antara mereka mencuri, mereka menegakkan hukum padanya. Demi Allah, sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya." (Muttafaq Alaih)
Cina bisa juga menjadi contoh lain tentang penegakan hukum. Zhu, Perdana Menteri Cina itu telah menghukum mati ratusan pelaku korupsi. Hasilnya, angka kriminalitas rendah, ekonomi di Cina maju sangat pesat.
[3] Meneguhkan ketaaatan kepada Allah (tu’minu-nabillah). Mewujudkan masyarakat sejahtera terdiri dari banyak variabel. Ada juga hal yang tidak bisa dijangkau akal (irasional). Ada kuasa Maha Pencipta di sini. ”Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi.. ” (TQS Al A’raaf: 96).
Demikianlah, Islam memberi resep bagaimana mewujudkan masyarakat unggulan. Jika masa seratus tahun Kebangkitan Nasional negara ini masih bersua kegagalan, mengapa resep Islam tidak dicoba sepenuhnya? Tak sampai 100 tahun, hanya 22 tahun (masa dakwah Rasulullah) bisa mengubah derajat sebuah bangsa hina di Arabia, menjadi disegani di kancah dunia. ***
Komentar