Langsung ke konten utama

Berhenti, Meneguhkan Kekuatan

Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik.”
(TQS Al Hadiid: 16).

Saya mengenalnya di masjid dalam beberapa kesempatan salat berjamaah. Di Sukabumi, Bandar Lampung. Karena belum lama bermukim di tempat tersebut, saya kurang tahu persis latar belakangnya. Sampai kemudian, sore itu, warga geger. Didapati jasadnya telah menjadi mayat. Jatuh dari ketinggian pohon dengan indikasi bunuh diri.
Kisah tetangga tersebut mengingatkan saya dengan mendiang dosen PTN di Lampung, almamater saya dahulu. Semula, siapapun terkesan dengan tampilan agamisnya. Hampir tak pernah terlihat ia menanggalkan kopiahnya kala mengajar. Saya mengingatinya dengan baik, kala doktor lulusan luar negeri itu memimpin doa saat upacara wisuda kami. Tapi, semuanya berakhir tragis. Didapati, ia tewas gantung diri. Konon kabarnya, ia ikut bisnis jaringan uang (money game) lalu terlilit utang yang membuat ia malu/tertekan.
Saya tidak tahu persis, analisa seperti apa yang bisa menjelaskan motif peristiwa tersebut. Yang jelas, peristiwa tragis seperti bunuh diri—yang sering kita baca di koran—ternyata bukan hanya menimpa orang yang jauh dari agama. Barangkali, ibadah telah menjadi formalitas. Ibadah itu telah kehilangan peran untuk menanggung beban hidup kita. Tidak ada lagi manifestasi (perwujudan) maknawiyah dari firman Allah, ”... jadikan sabar dan salat sebagai penolongmu...” (TQS Al Baqarah: 153).

Pertahanan
Berlalunya masa yang panjang memang potensial menghilangkan kekuatan kita menanggung beban. Surah Al Hadiid: 16 yang dinukilkan di muka memberi pelajaran kepada kita tentang masalah ini. Hati menjadi keras seiring dengan kondisi keimanan yang lemah. Ibadah bisa menjadi rutinitas yang kehilangan makna. Dalam konteks pribadi, ia bisa meruntuhkan benteng pertahanan moral kita. Kita bisa menjadi mudah putus asa. Dalam pergaulan, hal ini bisa menjadi sikap antisosial, tidak peduli dengan orang sekitarnya.
Proses perenungan, menundukkan hati seraya mengingati Allah dengan khusyu,’ (seperti termaktub dalam ayat QS Al Hadiid: 16 di muka) adalah kebiasaan yang selayaknya kita lakukan. ”Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak,” ujar Ibnu Mas’ud. Agak aneh, Ibnu Mas’ud masih menyebut ”biar kita beriman sejenak” bagi orang yang sudah nyata keIslamannya. Tapi begitulah, iman ternyata mengalami pasang naik-pasang surut, bahkan bisa hilang dari orang yang notabene Muslim.
Dalam nasehatnya, Ibnu Mas’ud mengajak kita untuk melakukan penghentian untuk memperbaharui keimanan. Ini seperti kebiasaan para pelaku bisnis. Orang-orang yang mengurus dunia itu ternyata memerlukan penghentian untuk menata ulang bisnis mereka.
Berhenti untuk melakukan perenungan itu kita perlukan agar kita tidak salah orientasi. Kita perlu memantau keseimbangan terhadap perubahan yang terjadi di sekeliling kita, untuk menentukan pilihan sikap yang selalu berada di atas koridor kebenaran. Kita perlu terus mengasah kepekaan, untuk selalu menyikapi semua peristiwa dalam konteks keimanan.
Harus ada perenungan untuk mengevaluasi segala aktivitas keseharian kita. Tidak boleh ada bagian dalam hidup ini yang bertentangan dengan koridor Islam. Saat ini banyak orang mempunyai kepribadian terbelah (split personality). Satu sisi ia menjadi abid (ahli ibadah yang taat) kala di masjid, tapi nilai keislaman itu ia tanggalkan ketika berinteraksi di masyarakat luas. Ia pelaku riba dan gharar dalam berbisnis. Ia abai perintah agama dalam masalah dunia. Padahal Allah tegaskan, bahwa kita harus totalitas menjalankan Islam. Dilaksanakan menyeluruh tanpa kecuali. ”Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.” (TQS Al Baqarah: 208).
Para ulama mengartikan kaffah itu meliputi berbagai hal seperti ideologi, politik, ekonomi, sosial-budaya, dan sistem pertahanan keamananan (ipoleksosbudhankam). Tidak ada dimensi kehidupan yang luput dari perhatian Islam. Sayid Qutb, kala menafsirkan Surah Al Baqarah: 208 tersebut, menyatakan bahwa Allah hanya memberi dua pilihan ekstrim. Jika sesuatu hal itu bukan jalan Islam, maka pasti itu adalah jalan syaitan.
Maka, menjadi mudahlah bagi kita menjelaskan, mengapa ada orang yang taat ibadah (ritual), tetapi terjerumus dalam putusan tragis dan nista—seperti bunuh diri itu. Pribadinya terbelah, amal Islami itu tidak dijalankan sepenuhnya, sampai kemudian syaitan merasuki jiwanya.

Tradisi Berhenti
Berhenti untuk melakukan perenungan itu harus menjadi tradisi. Inilah yang kita pahami dari sunnah melakukan i’tikaf di masjid, seperti yang secara khusus disunahkan pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Bahkan, Allah juga telah menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Muhammad sebelum menjadi Rasul. Umar bin Khattab pun mempunyai kebiasaan i’tikaf di Masjidil Haram sekali sepekan di masa jahiliyah.
Hari-hari panjang dengan ragam beban ini pasti menguras energi jiwa yang kita miliki. Tradisi perenungan semacam itu kita perlukan sehingga diam kita tidak berubah menjadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna, dan ragam peristiwa itu malah membuahkan perilaku tercela. Kita perlu mengisi hati dengan energi yang tercipta dari kesadaran baru, semangat baru, harapan baru, dan keberanian baru.
Energi yang tercipta dari kesadaran semacam itulah yang kemudian akan terus berbuah manis. Seperti energi kesadaran untuk terus menolong, memberi, dan berbagi, yang dicontohkan Rasulullah. Utusan Allah itu bahkan disebut sebagai ”orang yang tak takut miskin karena memberi.” Dialah yang menanamkan prinsip menolong orang lain untuk menolong diri sendiri. Ia bersabda, ”Allah swt. selalu menolong seorang hamba, selama hamba itu selalu menolong saudaranya.” Sabdanya yang lain, ”Barangsiapa memberi kemudahan kepada saudaranya, maka Allah akan memberi kemudahan baginya di akherat.” Hangatnya persaudaraan dari tradisi berbagi itulah yang akan menguatkan. Tak ada beban yang berat, sejauh ditanggung bersama.
Kita berharap apapun kesulitan yang kita alami terjadi tidak lagi melahirkan tragedi. Kita tidak ingin ada ”bencana di atas bencana.” Sesuatu yang muncul karena penyikapan yang salah. Seperti keinginan sebagian mahasiswa untuk mengevaluasi keputusan pemerintah menaikkan BBM, pekan lalu. Penolakan BBM itu malah berwujud anarki. Banyak orang cedera. Mobil dibakar. Banyak orang terganggu dengan kemacetan di jalanan ibu kota.
Berhenti untuk melakukan perenungan itu harus menjadi tradisi. Agar kita tidak dihinggapi ekspresi putus asa karena bertubi-tubinya kesulitan. Putus asa untuk terus mau memberi; putus asa untuk terus berharap rahmat dari Allah.
Allah mencela orang yang berputus asa. Bahkan putus asa itu Allah golongkan sebagai perilaku orang kafir. Orang yang mati karena sikap putus asa tidak akan diterima amalnya. Bahkan, Rasulullah tidak mau menyalatkan orang yang mati bunuh diri (=karena putus asa). Mereka dihukumi kekal di neraka karena keputus-asaannya itu. Na’udzubillah.
”Dan orang-orang yang mengingkari (kafir) terhadap ayat-ayat Allah dan pertemuan dengan Dia, mereka putus asa dari rahmat-Ku, dan mereka itu mendapat azab yang pedih.” (QS Al Ankaabut: 23). ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai