Langsung ke konten utama

Belajar dari ‘Ayat-ayat Cinta’

“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”
(TQS Al Ankaabut: 69).

Ketika masih menjadi cerita bersambung di koran Republika, daya pikatnya memang begitu terasa. Kami seasrama kerap berebut membacanya. Si Kembar rela berjalan kaki dari Ma’had Darul Fattah ke Darul Hikmah sekadar membaca lanjutan cerita. Sahabat saya Sonhaji punya kisah lengkapnya dari kliping koran. Di Metro, pramuniaga Toko Buku Fina AA, berkali-kali khatam novel tersebut tanpa merasa bosan. Saya sendiri merasa perlu membeli sebagai hadiah kepada adik dan rekan. Awal pekan ini Hadiya Feridian, sahabat saya di Manado, Sulawesi, mengabarkan via SMS tentang antusiasme warga Muslim dan Nasrani menonton filmnya di Bioskop 21.
Novel Ayat-ayat Cinta karya Habiburahman al-Shirazy memang sarat pelajaran. Dari isi novelnya sampai efek pasar yang mengikutinya. Telah dicetak ulang sampai 33 kali, lebih dari 450 ribu eksemplar terjual. Kang Abik—panggilan akrab penulis novel--mendapat royalty puluhan juta rupiah tiap bulannya. Kang Abik menjadi bukti, siapa yang sungguh-sungguh menjalankan kebaikan akan mendapat buah manis. Bukan hanya di akherat nanti, tetapi ketika kita masih hidup di dunia. Menjadi terkenal, tak berarti harus “kencing di sumur zam-zam.” Mendapatkan keuntungan finansial, tak berarti harus menjual kehormatan dengan menjajakan pornografi, cerita-cerita mesum, ataupun kekerasan.
Novel Ayat-ayat Cinta laksana oase di tengah gurun gersang. Ya. Hari ini kita memang diliputi kekhawatiran tentang media bacaan dan hiburan yang sering abai dengan nilai moral. Hampir-hampir kita menyerah, bahwa media hiburan harus identik dengan hal yang bertentangan dengan Islam. Namun, tanggapan masyarakat yang luar biasa terhadap novel tersebut menjadi bukti, masih banyak ’orang waras.’ Yang mau menuruti seleranya untuk menghibur diri, dengan cara yang positif. Kita ingin semakin banyak penulis lain yang sejalan dengan Kang Abik. Memakai cara terhormat untuk menarik minat pasar. Fitrah manusia akan keindahan, kesederhanaan, serta moralitas, adalah peluang pasar yang masih sangat menjanjikan. Novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata, patut juga kita sebut bukti tentang karya sastra ’lurus’ yang laris manis di pasaran.
Jika Anda belum membaca novel tersebut di atas, bacalah. Agaknya kita perlu variasi cara untuk memaknai nilai-nilai keluhuran atau pesan moral dalam tutur kata indah, mengundang penasaran, menggelitik, tanpa terasa menggurui. Dus, mungkin kita juga akan menemukan inspirasi dari keseharian kita yang kadang miskin pemaknaan, atau terlewatkan begitu saja.

Seni Membentengi Diri
“Ajarkan syair/sastra kepada anakmu, agar anak yang penakut berubah menjadi pemberani.” Begitu pesan Umar bin Khattab. Salah satu sahabat utama Rasulullah saw itu mengingatkan kita tentang salah satu kiat penting dalam mendidik anak. Mengemas pesan bahkan doktrin itu, perlu seni tersendiri. Seperti mengajarkan syair atau kisahan sastra. Ada keindahan yang membuat senang dan gembira, sekaligus muatan pelajaran yang dapat disisipkan. Bukan hanya bagi anak, syair juga menjadi bagian penting bagi orang dewasa mengatasi beban kesulitan dengan riang gembira. Kisah perang Khandaq mengambarkan beban kesulitan dan bagaimana Rasullah memberi teladan mengatasinya. Tidak ada ide terbaik untuk melawan kafir sekutu Quraisy kecuali membuat parit pertahanan, sesuai usul Salman Al Farisi. Maka digalilah parit secara bersama-sama. Buku-buku sirah mencatat bagaimana kerja keras kaum Muslimin tersebut dilakukan dengan riang gembira. Rasulullah menyuruh beberapa sahabat untuk bersyair, sedang beliau sendiri juga menyenandungkan syair-syair dari Abdullah bin Rawahah. Maka kesulitan yang awalnya dialami, berubah menjadi kebersamaan yang penuh keriangan, hingga Allah memberi kemenangan tentara Muslimin. Seorang Muslim memang harus mengerti bagaimana seni menyemangati dirinya sendiri. Bersyair/sastra mempunyai peran dan kapasitasnya sendiri memompa semangat dan pengharapan kita. Dan pada gilirannya, memberi kekuatan kelapangan dalam memikul beban. Pentingnya hal ini, membuat Umar bin Khattab membangun mimbar tersendiri di bagian belakang masjid yang diperuntukkan bagi mereka yang ingin membacakan syair.
Di sini, tentu kita berbicara tentang syair dan sastra dalam konteks yang penuh harga diri. Ini bukan ulasan murahan tentang perilaku orang-orang yang hanya pandai merangkai kata-kata tanpa mengantarkan orang ke mana-mana. Tetapi bersyair sebagai ekspresi kematangan jiwa, keberanian, dan menggelorakan semangat jihad. Abdullah bin Rawahah dipuji Rasulullah karena keahliannya bersyair. Ia digelari sebagai sahabat yang syairnya lebih cepat meluncur dari mulutnya daripada keluarnya pedang dari sarungnya. Ketika mengawali memimpin pasukan di Perang Mu’tah sampai menemui syahid, ia mengucapkan syair monumental: Wahai jiwa/ engkau harus turun berlaga/ atau kau turun karena kupaksa/mengapa kulihat engkau tampak enggan mengapai surga!
Islam mencela mereka yang bersyair hanya bagian dari memutar lidah, menuruti selera rendah. Umar bin Khattab menetapkan hukuman dera (cambuk) bagi para penyair satire. Surah Asy Syu'araa' (kata jamak dari Asy Syaa'ir yang berarti penyair) di dalam Al Qur’an secara khusus membahas kedudukan penyair. Para penyair-penyair itu mempunyai sifat-sifat yang jauh berbeda dengan para rasul-rasul; mereka diikuti oleh orang-orang yang sesat dan mereka suka memutar balikkan lidah dan mereka tidak mempunyai pendirian, perbuatan mereka tidak sesuai dengan tidak mempunyai pendirian, perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang mereka ucapkan; ”kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman.” (TQS Asy Syu'araa': 227)

Sarana Dakwah
Saat ini kita menjumpai berbagai varian karya sastra. Dari syair/sajak/puisi, pantun, kisah cerita pendek, novel, ataupun lagu/musik, sampai film. Masing-masing orang mempunyai kecenderungan berbeda, tentang karya mana yang paling disukai. Yang pasti, keseluruhan karya sastra itu memungkinkan untuk dijadikan sarana menghibur sekaligus menyemangati diri. Kita berharap sarana berhibur itu bukan sekadar ’klangenan’ bagian dari siklus hidup yang tak punya makna ibadah. Bukankah hidup ini, dari bangun tidur sampai tidur kembali, hanya untuk beribadah? Artinya, menyisipkan pesan-pesan agama, substansi Islam, menjadi bagian yang tak boleh dipisahkan. Semuanya harus menjadi sarana dakwah, mengingatkan kita semua untuk teguh beribadah.
Sastra adalah bahasa universal yang dapat diterima oleh semua orang. Al Qur’an mengakomodasi hal ini dengan bahasanya yang indah. Awal dakwah Rasulullah, banyak kalangan kafir Quraisy yang terpesona dengan Al Qur’an karena cita rasa sastranya yang tinggi. Al Qur’an adalah firman Tuhan yang sekaligus (dapat disebut) sebagai karya sastra. Banyak ulama yang mengkaji betapa pesan yang disampaikan dalam Al Qur’an tersusun dalam keserasian bahasa yang mengagumkan. Semestinya, kitapun bisa melakukannya. Menyampaikan dakwah dalam bahasa santun, memikat hati, dengan sarana yang bisa diterima oleh semua orang. Barisan Kang Abik (dengan teman-teman di Forum Lingkar Pena) telah memberikan contoh, semoga bisa semakin banyak diikuti yang lain.***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Bencana Tak Menyadarkan Kita

“Belumkah datang kepada mereka berita penting tentang orang-orang yang sebelum mereka, (yaitu) kaum Nuh, 'Aad, Tsamud, kaum Ibrahim, penduduk Madyan dan negeri-negeri yang telah musnah? Telah datang kepada mereka rasul-rasul dengan membawa keterangan yang nyata, maka Allah tidaklah sekali-kali menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS At Taubah: 70) Selayaknya, hari itu adalah waktu libur yang menyenangkan. Pesisir pantai Aceh punya pesona menarik sebagaimana pantai lainnya di pesisir Samudera Indonesia. Pagi yang cerah. Menawarkan selera untuk bercengkerama dengan keluarga, sembari menikmati indahnya panorama pantai. Namun, malang tak dapat ditolak untung tak dapat diraih. Semuanya berubah menjadi peristiwa yang memilukan. Tiba-tiba bumi berguncang dahsyat, gempa mengundang panik semuanya. Belum sirna rasa terkejut itu, riuh rendah orang berteriak, “Air, air..., air datang!“ Kita selanjutnya menyaksikan ribuan mayat bergelimpangan, berbagai

PETAKA KUASA DUSTA

”Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu-bapak dan kaum kerabatmu...Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.” (TQS An Nisaa: 135). Ini kisah menurut La Fontaine dalam Fables et Epitres. Dunia margasatwa diserang wabah penyakit. Diduga wabah itu merupakan azab Tuhan karena kejahatan penghuni dunia itu. Baginda Singa, tokoh nomor satu di kerajaan rimba, dengan memelas mengakui, ”Akulah penyebab segala bencana ini. Pekerjaanku memakan warga yang lemah seperti domba dan kambing.” Serigala membantah. ”Bukan demikian, Baginda tidak salah.” Yang dilakukan singa adalah implikasi dari kekuasaan. Memakan warga adalah bagian resiko yang harus diambil dari kebijakan yang dibuat pemimpin. Seorang demi seorang dari pembesar margasatwa bergilir mengakui kesalahannya. Pengadilan selalu memutuskan mereka tak bersalah

“Robohnya Masjid Kami” [Kritik Memakmurkan Masjid]

“Dan siapakah yang lebih aniaya daripada orang yang menghalang-halangi menyebut nama Allah dalam masjid-masjid-Nya, dan berusaha untuk merobohkannya? Mereka itu tidak sepatutnya masuk ke dalamnya (masjid Allah), kecuali dengan rasa takut (kepada Allah). Mereka di dunia mendapat kehinaan dan di akhirat mendapat siksa yang berat.” (TQS Al Baqarah: 114) Masjid itu dindingnya dari tanah liat. Tiangnya batang kurma, lantainya pasir, dan atapnya pelepah kurma. Maka, di suatu hari kaum Anshar mengumpulkan harta dan mendatangi Rasulullah saw.. "Wahai Rasulullah, bangunlah masjid dan hiasilah seindah-indahnya dengan harta yang kami bawa ini. Sampai kapan kita harus salat di bawah pelepah kurma?" Rasulullah menjawab, "Aku ingin seperti saudaraku Nabi Musa, masjidku cukup seperti arisy (gubuk tempat berteduh) Nabi Musa a.s.” Dijelaskan oleh Hasan r.a. menjelaskan bahwa ukuran arisy Nabi Musa a.s. adalah bila Rasulullah saw. mengangkat tangannya maka atapnya akan tersentuh Hadits ya