“Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka.”
(TQS An Nisaa’: 36-37).
Pada suatu hari Rasulullah melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul. Beliau bertanya,” Karena apa kalian berkumpul di sini?” Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ini ada orang gila, sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul di sini.” Rasulullah bersabda, “Orang ini bukan gila. Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, siapakah orang gila yang benar-benar gila (al-majnun haqq al-majnun)?” Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah?”
Beliau menjelaskan, “Orang gila adalah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja.”
Jika kita tilik dalam bahasa Arab, majnun, orang gila, berasal dari akar kata jannat, yang artinya menutupi. Dia masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi pelakunya. Akalnya sudah dikuasai hawa nafsunya. Dalam pengertian inilah Rasulullah saw menyebut takabur sebagai majnun. Para sahabat menyebut majnun kepada orang yang perilakunya tidak normal (abnormal); sementara Rasulullah menyebut orang seperti itu dengan mubtala, orang yang mendapat musibah, orang sakit. Ia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Perilakunya yang aneh hanyalah teknik untuk melarikan diri dari kenyataan yang sangat menyakitkan: berpisah dengan orang yang dicintai, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan, menghadapi buah simalakama, dan sebagainya.
Rasulullah saw. menyuruh kita melihat otang seperti itu sebagai orang yang patut kita bantu. Ia bukan majnun, tetapi mubtala. Kita harus meringankan deritanya dan memberikan jalan keluar dari bala yang mengenainya. Ia bukan orang yang tertutup akalnya. Ia hanyalah orang yang hancur hatinya. Bukankah Allah berfirman (dalam hadits qudsi) ”Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hancur hatinya?”
Orang yang kena bala harus didekati, tetapi orang gila harus dijauhi. Menurut Rasulullah saw., ciri utama orang gila adalah takabur. Ia merasa dirinya besar dan merendahkan orang lain. Takabur menutupi kenyataan bahwa ia tidak berbeda denga yang lain; ia hanyalah berasal dari nuthfah (sperma) dan berakhir pada jifah (bangkai). Karena takabur, ia menjadi majnun. Akalnya tertutup. Takabur mengubah kedudukan, keturunan dan kekayaan menjadi tirai baja yang menutupi jati dirinya.
Rasulullah berkata kepada Abu Dzar al Ghifari, ”Wahai Abu Dzar, barang siapa mati dan dalam hatinya ada sebesar debu dari takabur, ia tidak akan mencium bau surga, kecuali bila ia bertobat sebelum maut menjemputnya.” Abu Dzar berkata, ”Ya Rasullullah, aku mudah terpesona dengan keindahan. Aku ingin gantungan cambukku indah dan pasangan sandalku juga indah. Yang demikian itu membuatku takut.” Rasulullah saw. bertanya,”Bagaimana perasaan hatimu?” Abu Dzar menjawab, ”Aku dapatkan hatiku mengenal kebenaran dan tenteram di dalamnya.” Rasulullah saw. berkata,”Yang demikian itu tidak termasuk takabur. Takabur ialah meninggalkan kebenaran dan kamu mengambil selain kebenaran. Kamu melihat kepada orang lain dengan pandangan bahwa kehormatannya tidak sama dengan kehormatanmu, darahnya tidak sama dengan darahmu.”
Walhasil, kita takabur kalau kita tidak mau kebenaran karena yang menyampaikan kebenaran itu rakyat kecil, orang miskin, bawahan, atau pegawai rendahan. Kita tidak mau mendengar nasihat dari anak atau isteri kita karena kita menganggap mereka lebih rendah dari diri kita sendiri. Karena kita mempunyai hubungan dekat dengan orang besar, kita ingin diperlakukan istimewa dan hukum apapun tidak boleh berlaku untuk kita.
Karena kita merasa lebih berilmu, kita meremehkan orang yang kita anggap bodoh. Kita kecam mereka. Kita tertawakan kejahilan mereka. Kalau ilmu kita itu ilmu agama, kita berikan gelar-gelar buruk kepada orang lain yang kita tidak sepaham dengan mereka. Kita khususkan surga untuk kelompok kita dan neraka untuk kelompok yang lain.
Karena kita ahli ibadah, kita merasa diri kita yang paling salih di antara seluruh makhluk di muka bumi. Kita sombong dengan ritual ibadah yang kita lakukan. Kita tinggi hati dengan ibadah istimewa yang kita kerjakan. Kita bangga dengan haji dan umrah yang telah berulang kali kita jalani. Kemudian, kita merasa puas dengan ibadah kita dan lupa akhlak kita di tengah-tengah masyarakat. Kita begitu puas dengan ritual puasa yang kita lakukan sehingga kita lupa dengan fakir-miskin di sekitar kita. Kita begitu senang dengan salat kita sehingga kita lupa memperbaiki akhlak kita,
Karena kita mempunyai kekayaan lebih dari kebanyakan orang, kita busungkan dada kita. Kita rendahkan orang-orang yang kurang kaya dibandingkan kita. Kita ciptakan kelompok ekslusif. Kita singkirkan ke pinggir orang-orang yang lebih miskin dari kita. Kita menganggap mereka tidak sederajat dan sedarah dengan kita.
Karena kita merasa berkuasa, kita tidak segan-segan ”menggebuk” orang yang tidak kita sukai. Kita tidak menghiraukan rakyat kecil yang kita tindas dan kita kebiri hak-haknya dengan semena-mena. Kita menegakkan kekuasaan di atas keringat, air mata dan darah orang-orang yang tidak berdaya.
Rangkaian kalimat di atas dapat kita gunakan untuk mendiagnosis apakah kita memiliki penyakit takabur alias sombong. Satu saja di antara ”gejala” itu kita rasakan, berarti kita sudah menjadi orang yang benar-benar gila (al-majnun haqq al-majnun).***
Pada suatu hari Rasulullah melewati sekelompok orang yang sedang berkumpul. Beliau bertanya,” Karena apa kalian berkumpul di sini?” Para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, ini ada orang gila, sedang mengamuk. Karena itulah kami berkumpul di sini.” Rasulullah bersabda, “Orang ini bukan gila. Ia sedang mendapat musibah. Tahukah kalian, siapakah orang gila yang benar-benar gila (al-majnun haqq al-majnun)?” Para sahabat menjawab, “Tidak, ya Rasulullah?”
Beliau menjelaskan, “Orang gila adalah orang yang berjalan dengan sombong, yang memandang orang dengan pandangan merendahkan, yang membusungkan dada, berharap akan surga Tuhan sambil berbuat maksiat kepadaNya, yang kejelekannya membuat orang tidak aman dan kebaikannya tidak pernah diharapkan. Itulah orang gila yang sebenarnya. Adapun orang ini, dia hanya sedang mendapat musibah saja.”
Jika kita tilik dalam bahasa Arab, majnun, orang gila, berasal dari akar kata jannat, yang artinya menutupi. Dia masih mempunyai akal, tetapi akalnya itu tidak dapat menerangi pelakunya. Akalnya sudah dikuasai hawa nafsunya. Dalam pengertian inilah Rasulullah saw menyebut takabur sebagai majnun. Para sahabat menyebut majnun kepada orang yang perilakunya tidak normal (abnormal); sementara Rasulullah menyebut orang seperti itu dengan mubtala, orang yang mendapat musibah, orang sakit. Ia sakit karena tidak sanggup menanggung derita. Perilakunya yang aneh hanyalah teknik untuk melarikan diri dari kenyataan yang sangat menyakitkan: berpisah dengan orang yang dicintai, dikhianati sahabat, kehilangan pekerjaan, menghadapi buah simalakama, dan sebagainya.
Rasulullah saw. menyuruh kita melihat otang seperti itu sebagai orang yang patut kita bantu. Ia bukan majnun, tetapi mubtala. Kita harus meringankan deritanya dan memberikan jalan keluar dari bala yang mengenainya. Ia bukan orang yang tertutup akalnya. Ia hanyalah orang yang hancur hatinya. Bukankah Allah berfirman (dalam hadits qudsi) ”Carilah Aku di tengah-tengah orang yang hancur hatinya?”
Orang yang kena bala harus didekati, tetapi orang gila harus dijauhi. Menurut Rasulullah saw., ciri utama orang gila adalah takabur. Ia merasa dirinya besar dan merendahkan orang lain. Takabur menutupi kenyataan bahwa ia tidak berbeda denga yang lain; ia hanyalah berasal dari nuthfah (sperma) dan berakhir pada jifah (bangkai). Karena takabur, ia menjadi majnun. Akalnya tertutup. Takabur mengubah kedudukan, keturunan dan kekayaan menjadi tirai baja yang menutupi jati dirinya.
Rasulullah berkata kepada Abu Dzar al Ghifari, ”Wahai Abu Dzar, barang siapa mati dan dalam hatinya ada sebesar debu dari takabur, ia tidak akan mencium bau surga, kecuali bila ia bertobat sebelum maut menjemputnya.” Abu Dzar berkata, ”Ya Rasullullah, aku mudah terpesona dengan keindahan. Aku ingin gantungan cambukku indah dan pasangan sandalku juga indah. Yang demikian itu membuatku takut.” Rasulullah saw. bertanya,”Bagaimana perasaan hatimu?” Abu Dzar menjawab, ”Aku dapatkan hatiku mengenal kebenaran dan tenteram di dalamnya.” Rasulullah saw. berkata,”Yang demikian itu tidak termasuk takabur. Takabur ialah meninggalkan kebenaran dan kamu mengambil selain kebenaran. Kamu melihat kepada orang lain dengan pandangan bahwa kehormatannya tidak sama dengan kehormatanmu, darahnya tidak sama dengan darahmu.”
Walhasil, kita takabur kalau kita tidak mau kebenaran karena yang menyampaikan kebenaran itu rakyat kecil, orang miskin, bawahan, atau pegawai rendahan. Kita tidak mau mendengar nasihat dari anak atau isteri kita karena kita menganggap mereka lebih rendah dari diri kita sendiri. Karena kita mempunyai hubungan dekat dengan orang besar, kita ingin diperlakukan istimewa dan hukum apapun tidak boleh berlaku untuk kita.
Karena kita merasa lebih berilmu, kita meremehkan orang yang kita anggap bodoh. Kita kecam mereka. Kita tertawakan kejahilan mereka. Kalau ilmu kita itu ilmu agama, kita berikan gelar-gelar buruk kepada orang lain yang kita tidak sepaham dengan mereka. Kita khususkan surga untuk kelompok kita dan neraka untuk kelompok yang lain.
Karena kita ahli ibadah, kita merasa diri kita yang paling salih di antara seluruh makhluk di muka bumi. Kita sombong dengan ritual ibadah yang kita lakukan. Kita tinggi hati dengan ibadah istimewa yang kita kerjakan. Kita bangga dengan haji dan umrah yang telah berulang kali kita jalani. Kemudian, kita merasa puas dengan ibadah kita dan lupa akhlak kita di tengah-tengah masyarakat. Kita begitu puas dengan ritual puasa yang kita lakukan sehingga kita lupa dengan fakir-miskin di sekitar kita. Kita begitu senang dengan salat kita sehingga kita lupa memperbaiki akhlak kita,
Karena kita mempunyai kekayaan lebih dari kebanyakan orang, kita busungkan dada kita. Kita rendahkan orang-orang yang kurang kaya dibandingkan kita. Kita ciptakan kelompok ekslusif. Kita singkirkan ke pinggir orang-orang yang lebih miskin dari kita. Kita menganggap mereka tidak sederajat dan sedarah dengan kita.
Karena kita merasa berkuasa, kita tidak segan-segan ”menggebuk” orang yang tidak kita sukai. Kita tidak menghiraukan rakyat kecil yang kita tindas dan kita kebiri hak-haknya dengan semena-mena. Kita menegakkan kekuasaan di atas keringat, air mata dan darah orang-orang yang tidak berdaya.
Rangkaian kalimat di atas dapat kita gunakan untuk mendiagnosis apakah kita memiliki penyakit takabur alias sombong. Satu saja di antara ”gejala” itu kita rasakan, berarti kita sudah menjadi orang yang benar-benar gila (al-majnun haqq al-majnun).***
Komentar