Langsung ke konten utama

Berkuasa dengan Cinta

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al Ahzab: 21)

Suatu saat Abdullah Al Bajaliy, salah seorang sahabat Nabi, terlambat datang di majelis Rasulullah SAW. Karena datang terlambat, tempat pun sudah penuh. Dia lalu mencari-cari tempat duduk. Nabi yang mulia membuka gamisnya. Dengan tangannya sendiri, dia melipat baju itu, lalu mengantarkannya kepada Abdullah. “Jadikan tikar ini untuk tempat dudukmu,” kata Rasulullah. Tapi, Abdullah tidak mendudukinya. Dia malah mencium baju Nabi SAW. Dengan mata berlinang haru ia berkata, “Ya Rasulullah, semoga Allah memuliakanmu sebagaimana Anda telah memuliakanku.” Dengan tersenyum Nabi berkata, ”Bila datang kepada kalian seorang yang mulia dari suatu kaum, maka muliakanlah dia.“ Abdullah Al Bajaliy mengenangnya sebagai peristiwa indah saat bersama Nabi SAW (Hayat Al –Shahabah, Muhammad Yusuf Al Kandahlevi).
Peristiwa tersebut adalah penggalan kehidupan Nabi SAW bersama sahabatnya yang mengesankan. Di dalamnya terkandung makna penghormatan, perhatian, dan kasih sayang. Perlakuan seorang sahabat terhadap sahabatnya. Seorang guru terhadap muridnya. Seorang pemimpin terhadap orang yang dipimpinnya.
Di saat kesulitan yang mendera keseharian kita tak kunjung sirna, ada kerinduan yang membuncah. Andaikan saja Nabi yang mulia itu bisa hadir di tengah-tengah kita. Atau, andaikan saat ini ada sosok pemimpin yang meniru perilaku Rasulullah tersebut. Tentu bukan berarti kita terlalu berharap, bahwa kesulitan yang melilit aktivitas keseharian kita ini akan secepatnya berlalu dengan kepemimpinan seseorang. Tetapi, perhatian dan kehangatan seorang pemimpin itulah yang kita harapkan. Seperti dicontohkan perhatian Rasulullah dalam kisah di atas, tampak lebih penting untuk menumbuhkan harapan. Agar kemudian, kita tetap selalu optimis menatap masa depan.

Ketinggian Akhlak Rasul dalam Memimpin

“Jika kita mengukurnya kebesarannya dengan pengaruh, dia seorang raksasa sejarah. Ia berjuang meningkatkan tahapan ruhaniah dan moral suatu bangsa yang tenggelam dalam kebiadaban karena panas dan kegersangan gurun. Dia berhasil lebih sempurna dari pembaharu manapun, belum pernah ada orang yang begitu berhasil mewujudkan mimpinya seperti dia,” tulis Will Durrant dalam The Story of Civilizaton. “Dia datang seperti sepercik sinar dari langit, jatuh ke padang pasir yang tandus, kemudian meledakkan butir-bitir mesiu yang membakar angkasa Delhi ke Granada,” ujar Thomas Carlyle dalam On Heros and Hero Worship.
Ungkapan di atas ditulis oleh orang yang tidak pernah bertemu secara langsung dengan Nabi saw. Bahkan merekapun tidak beriman dengan ajaran yang dibawa nabi saw. Mereka hanya menyaksikan lewat lembaran sejarah yang sampai kepada mereka. Will Durant dan Thomas Carlyle adalah orang yang kebetulan tertarik mempelajari budaya Timur (orientalis). Tetapi pesona dan pengaruh kepemimpinan Nabi Muhammad saw. begitu membekas, sehingga mereka berusaha melukiskan kebesaran Rasulullah saw.

Rasulullah saw. adalah profil tentang sosok pemimpin yang sukses besar dalam kepemimpinannya. Ia merubah dengan sangat cemerlang pribadi-pribadi jahil dari gurun menjadi pemimpin peradaban di masanya. Tetapi kebesarannya tidak terukur lewat kemampuannya untuk memaksa orang lain mengikutinya. Ia memimpin dengan cinta. Kebesarannya terukur dari ketinggian akhlaknya.
Suatu saat Abdullah bin Umar dan dua orang kawannya menemui Aisyah dan meminta ceritanya tentang akhlak Nabi saw. Aisyah menarik napas panjang. Kemudian dia menangis seraya berkata lirih, “Ah, semua perilakunya memesonakan.“ Abdullah mendesak lagi, ceritakan kepada kami apa yang paling memesonakan dari semua yang pernah Anda saksikan.“ Barulah kemudian Aisyah menceritakan sepotong kisah indah bersama Rasulullah, seperti yang dinukilkan dalam Tafsir Ibnu Katsir berikut ini:
“Pada suatu malam, ketika dia tidur bersamaku dan kulitnya sudah bersentuhan dengan kulitku, dia berkata “Ya Aisyah, izinkan aku beribadat kepada Tuhanku. Aku berkata, “Aku sesungguhnya senang merapat denganmu; tetapi aku juga senang melihatmu beribadat kepada Tuhanmu.“ Dia (Rasul) bangkit mengambil gharaba air, lalu berwudhu. Ketika berdiri sholat kudengar ia terisak-isak menangis. Kemudian ia duduk membaca Al Qur’an, juga sambil menangis sehingga air matanya membasahi janggutnya. Ketika dia berbaring, air mata mengalir lewat pipinya membasahi bumi di bawahnya. Pada waktu fajar, Bilal datang dan masih melihat Nabi saw menangis, “Mengapa Anda menangis padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan kemudian?” tanya Bilal. “Bukankah aku bekum menjadi hamba yang bersyukur. Aku menangis karena malam tadi turun surah Ali Imran 190-191. Celakalah orang yang membaca ayat ini dan tidak memikirkannya.”
Demikianlah, Aisyah menceritakan kenangannya dengan Nabi saw. Untuk Aisyah seluruh perilaku Rasul mempesonakan. Manusia paling sempurna, junjungan alam, tetapi masih mau untuk minta izin kepada isterinya untuk beribadat di tengah malam. Untuk Aisyah, istri Nabi, pada permintaan izin itu terkandung penghormatan, perhatian, dan kemesraan.

Kecintaan Para Sahabat
Pada peristiwa Hudaibiyah, Urwah Ats-Tsaqafi mewakili kaum Quraisy untuk berunding dengan Rasulullah saw. Dia terpesona dengan cara sahabat memperlakukan Nabi saw. Ketika beliau berwudhu, orang memperebutkan air ludahnya, dan ketika rambutnya jatuh orang berdesakan mengambil rambutnya. Ketika Urwah kembali ke kaumnya, dia berkata “Hai kaum Quraisy, aku pernah mendatangi Kisra di kerajaannya. Aku pernah menemui Kaisar di keratonnya. Najasyi di istananya. Belum pernah aku melihat orang memperlakukan rajanya seperti sahabat-sahabat Muhammad memperlakukan Muhammad” (Sirah Ibnu Hisyam).
Urwah benar. Bila Rasulullah saw datang ke sebuah tempat manusia berbondong-bondong menemuinya. Mereka berdesak-desakan untuk sekedar mencium tangannyanya. Perempuan membawa anak-anak mereka, meminta Nabi saw mengusapkan jari-jemarinya pada wajah anak-anak itu sambil mendoakannya.
Hanya untuk lebih dekat dengan Rasulullah, tidak jarang para sahabat mencari akal. Seperti yang dilakukan oleh Sawad bin Ghazyah dalam perang Badar. Ketika Nabi saw sedang meluruskan barisan, Sawad maju ke muka. Rasulullah memukul perutnya dengan anak panah, “Lurus barisanmu, wahai Sawad!” Sawad memprotes. “Ya Rasulullah, Anda menyakitiku, padahal Allah telah mengutusmu dengan membawa kebenaran dan keadilan. Aku ingin menuntut qishash.” Para sahabat yang lain berteriak, “Hai, engkau mau menuntut balas dari Rasulullah saw?”
Nabi saw menyingkap perutnya, “Balaslah!” Tapi Sawad malah memeluk tubuh Nabi saw dan menciumnya. Rasul yang mulia bertanya, “Hai Sawad, apa yang mendorongmu untuk melakukan ini?” Sawad berkata, Ya Rasulullah, sudah terjadi apa yang engkau persaksikan. Ingin sekali pada akhir pertemuanku denganmu, kulitku menyentuh kulitmu. Berilah aku syafaat pada hari kiamat.” Nabi saw kemudian mendoakan kebaikan baginya (Hayat Al Shahabah).
Nabi Muhammad saw adalah pemimpin yang ditaati karena cinta. Namun bukan berarti ia tidak berwibawa. Dengarkan cerita Usamah bin Syarik berikut ini: “Bila kami duduk mendengarkan Rasulullah, kami tidak sanggup mengangkat kepala kami, seakan-akan di atas kepala kami bertengger burung-burung.” Al Barra bin Azib berkata,” Aku bermaksud bertanya kepada Rasulullah saw tentang satu urusan, tetapi aku menangguhkannya sampai dua tahun karena segan akan wibawanya.” Pernah juga seorang dusun menemui Nabi saw. Tubuhnya bergetar sehingga Nabi saw berusaha menenangkannya. Tenangkan dirimu, kata Rasulullah saw, “Aku manusia biasa dan suka makan daging juga.” (Hayat Al Shahabah).
Nabi berwibawa, tetapi bukan karena menggunakan kekerasan, kekuasaan, atau kekayaan. Dia berwibawa karena dicintai oleh pengikutnya.
Memimpin dengan cinta. Itulah ungkapan sederhana yang paling mewakili keberhasilan Rasulullah dalam membimbing umatnya. Hal ini juga mewakili tentang teladan dan kunci kesuksesan seorang pemimpin di tengah berbagai keterpurukan yang melilit umat pada saat ini.
“Ah, itukan Muhammad, seorang yang dibimbing langsung oleh Allah!” begitu mungkin jawab kita ketika membandingkan perilaku kita dengan Rasulullah. Tapi, seperti dikutip dari ayat yang di awal tulisan ini.Menjadi niscaya, kalau memang ingin bangkit dari keterpurukan, kuncinya ada pada upaya kita untuk mencontoh perilaku beliau. Kita adalah pemimpin, pemimpin di tengah masyarakat, keluarga atau untuk diri sendiri.

Menyayangi ”Wong Cilik”
Kita sudah mendengar kisah Rasulullah dari Aisyah dan sahabat-sahabat yang lain. Sekarang dengarkan kisah seorang yang pernah menjadi khadam (pembantu) Rasulullah saw selama bertahun-tahun, yaitu Anas bin Malik. “Aku menjadi pelayan Rasulullah saw. selama sepuluh tahun. Belum pernah dia memukulku satu pukulan pun; tidak pernah membentakku atau bermuka masam kepadaku. Bila aku malas melakukan apa yang diperintahnya, dia tidak memakiku. Bila salah seorang di antara keluarganya mengecamku, dia berkata “Biarkanlah dia”
Anas juga bercerita bagaimana Rasulullah saw. menyuruh kaum Muslimin untuk memperlakukan pembantunya dengan baik. Mereka harus makan makanan yang sama dengan apa yang dimakan tuan mereka.Mereka tidak boleh dipermalukan atau dipanggil dengan panggilan yang tercela. Menurut Anas, Rasulullah saw. seringkali melayani para pelayan di Madinah. Pada waktu dini hari, pada musim dingin, para khadam sering datang membawa air dari majikan mereka. Mereka meminta Rasulullah memasukkan tangannya ke dalam air itu. Nabi saw juga tidak jarang mengantarkan budak-budak untuk memenuhi keperluan mereka, bahkan perempuan yang sudah pikun.
Pada suatu hari, para sahabat menemukan Rasulullah saw. sedang memperbaiki sandal anak yatim; dan pada hari yang lain, sedang menjahit pakaian kumal milik perempuan tua yang miskin. Dia mengumpulkan sebagian sahabatnya yang miskin di sudut masjidnya. Dia membagikan makanan sedikit yang dipunyainya untuk mereka, sehingga dia sendiri tidak pernah makan kenyang selama tiga hari berturut-turut.
Abu Hurairah juga menceritakan, betapa Rasul merasa kehilangan dengan seorang perempuan hitam yang pekerjaanya menyapu masjid. Suatu hari dia tidak menemukan wanita itu. Rasulullah menanyakan ihwalnya. Rasulullah saw. sangat kecewa ketika tahu ia meninggal, “Kenapa aku tidak diberitahu!” Lalu Rasulullah meminta ditunjukkan kuburnya. Di atas kuburan perempuan tersebut Rasulullah saw melakukan salat untuknya. Abu Hurairah menceritakan tentang betapa perhatian Rasulullah saw kepada para sahabatnya, bahkan kepada orang yang dipandang remeh oleh masyarakat.
Mari kita simak kisah Sa’d bin Muadz Al Anshari. Waktu itu Rasulullah saw. pulang dari Tabuk. Dia melihat tangan Sa’d yang menghitam dan melepuh. “Kenapa tanganmu,“ kata Rasulullah saw. “Akibat palu dan sekop besi yang sering saya pergunakan untk mencari nafkah untuk keluarga yang menjadi tanggunganku.“ Maka Rasulullah saw mengambil tangan itu dan menciumnya, “Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka.“ Lihatlah, betapa Rasulullah saw. yang tangannya diperebutkan untuk dicium, sekarang mencium tangan yang kasar. Begitulah Rasulullah saw memperlakukan kaum dhuafa, ’wong cilik’ sahabatnya. ***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pemimpin Ruhani (Asa dari Gaza)

Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. ( QS Al Ankabut: 69 ) Segala cara sudah ditempuh untuk membendung dakwah Muhammad. Semuanya tidak membuahkan hasil. Kepanikan kaum musyrikin Makkah mencapai puncaknya ketika keluarga besar Muhammad, Bani Hasyim dan Bani al-Muththalib, berkeras melindungi Muhammad. Mereka lalu berkumpul di kediaman Bani Kinanah dan bersumpah untuk tidak menikahi Bani Hasyim dan Bani Muththalib, tidak berjual beli dengan mereka, tidak berkumpul, berbaur, memasuki rumah ataupun berbicara dengan mereka hingga mereka menyerahkan Muhammad untuk dibunuh. Kesepakatan zalim itu mereka tulis dalam lembar perjanjian (shahifah) dan digantungkan di rongga Ka’bah. Pemboikotan itu berjalan 3 tahun. Stok makanan mereka habis. Sementara itu kaum musyrikin tidak membiarkan makanan apapun yang masuk ke Mekk...

Tragedi Ponari

S esungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka pasti Allah akan mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya adalah neraka. Tidak ada orang-orang zalim itu seorang penolong pun. (QS Al-Maidah: 72). Belum lepas dari ingatan dengan hebohnya Ryan Sang Penjagal, Jombang kembali menjadi perhatian. Puluhan ribu orang tumplek-blek , minta diobati oleh Ponari, anak yang dianggap memiliki batu sakti. Maka drama kolosal yang konyol itu berlangsung. Sembari digendong tangan kanan dicelupkan ke wadah air pasien yang antri, tangan kiri Ponari sibuk bermain game dari ponsel. “Ponari itu diberi kelebihan oleh Tuhan,” kata seorang wanita yang datang jauh dari Sidoarjo. Tokoh agama yang tak jelas aqidahnya, membolehkan datang ke tempat Ponari. Begitulah, tak sekadar konyol, ini menjadi drama memilukan. Empat nyawa melayang karena berdesak-desakan. Karena capek, Ponari dirawat di rumah sakit—bahkan ia tak mampu mengobati dirinya sendiri. Menyimak beritanya, saya dil...

Pemimpin sebagai Pelayan

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat . ( TQS An Nisa: 58 ). Di zaman khalifah Umar bin Khattab, pada tahun ke-17 Hijriyah pernah terjadi bencana kelaparan yang mengerikan. Penyebabnya, di seluruh semenanjung Arab (Hijaz) tidak turun hujan selama 9 bulan dan hujan abu dari gunung berapi. Tanah menjadi hitam gersang penuh abu dan mematikan segala tanaman di atasnya. Tahun tersebut dinamai “Tahun Abu” (Amar-Ramaadah). Hewan-hewan yang ada kurus kering, tetapi karena lapar mereka sembelih dengan rasa jijik saking begitu buruknya. Penduduk di pedalaman ramai-ramai mengungsi ke Madinah. Umar sendiri ikut mengurus makanan penduduk Madinah dan para pengungsi. Ia turut mengolah roti dengan zaitun untuk dijadikan roti kuah. S...